Historia

Perang Tersingkat dalam Sejarah, Pertempuran 38 Menit yang Mengubah Takdir Zanzibar

Situasi Kekacauan Usai Perang Zanzibar dan Inggris. | Getty Images

AFRIKA TIMUR | Priangan.com – Bayangkan sejenak, sebuah perang. Dentuman meriam, ledakan yang memekakkan telinga, pasukan yang bersiap di bawah panji kebanggaan mereka, dan kepulan asap memenuhi langit. Sekarang bayangkan perang ini selesai sebelum Anda sempat menghabiskan secangkir teh pagi Anda.

Kedengarannya mustahil? Tidak untuk Perang Inggris-Zanzibar, konflik paling singkat dalam sejarah yang terjadi pada 27 Agustus 1896, yang hanya berlangsung selama 38 hingga 45 menit. Meski sekilas terdengar seperti bagian dari kisah fiksi, kenyataannya perang ini benar-benar terjadi dan memberikan dampak besar pada sejarah Zanzibar dan kekuatan kolonial Inggris di Afrika Timur.

Sebelum mengupas peristiwa yang luar biasa ini, mari kita mulai dengan mengenal Zanzibar, kepulauan eksotis di pesisir timur Afrika yang dikenal sebagai pusat perdagangan cengkeh, gading, dan sayangnya, budak. Pada abad ke-19, Zanzibar menjadi incaran banyak negara karena posisinya yang strategis dan kekayaan alamnya yang melimpah. Kerajaan Inggris, sebagai salah satu kekuatan dunia pada masa itu, melihat peluang emas untuk memperkuat kendali mereka di kawasan tersebut.

Zanzibar sendiri merupakan kesultanan yang dipisahkan dari Kesultanan Oman pada tahun 1861. Dipimpin oleh para Sultan yang memerintah dari istana megah mereka di Stone Town, Zanzibar mengalami masa keemasan dalam perdagangan internasional.

Namun, kekuatan kolonial seperti Inggris mulai memandang Zanzibar sebagai bagian dari imperium mereka yang lebih luas, sehingga hubungan antara Inggris dan Zanzibar semakin erat dengan pembentukan protektorat pada tahun 1890. Meskipun demikian, hubungan ini tidak selalu mulus, terutama ketika berbicara tentang siapa yang memegang kekuasaan sejati di pulau ini.

Kisah perang ini dimulai dengan kematian mendadak Sultan Hamad bin Thuwaini pada 25 Agustus 1896. Sultan Hamad adalah sekutu Inggris yang setia, dan kematiannya menciptakan kekosongan kekuasaan yang langsung diisi oleh Khalid bin Barghash, sepupunya yang lebih berjiwa independen. Khalid dengan cepat mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan Zanzibar tanpa berkonsultasi dengan Inggris, tindakan yang dianggap Inggris sebagai pemberontakan.

Tonton Juga :  Cerutu dan Soeharto, Bukan Sekedar Kebiasaan Merokok

Inggris, yang sudah memiliki rencana sendiri untuk Zanzibar, tidak menyukai Khalid karena ia dikenal memiliki pandangan yang lebih tegas dan tidak mau sepenuhnya tunduk pada Inggris. Inggris lebih mendukung Hamoud bin Mohammed, seorang bangsawan yang bersedia bekerja sama lebih erat dengan mereka. Tak ayal, perebutan tahta ini menjadi benih konflik. Inggris mengultimatum Khalid untuk turun dari tahta sebelum pukul 09:00 pada 27 Agustus 1896, namun Khalid bersikukuh bertahan di istananya yang dibentengi.

Di balik tembok istana, Khalid dan pasukannya—sekitar 2.800 prajurit—bersiap menghadapi apa yang mereka kira akan menjadi pertempuran sengit melawan Inggris. Sayangnya, mereka tidak menyadari betapa tidak seimbangnya kekuatan militer yang akan mereka hadapi.

Pada pagi yang tenang di tanggal 27 Agustus, kota Stone Town terbangun dalam suasana tegang. Di pelabuhan, kapal-kapal perang Inggris, termasuk HMS St George, HMS Philomel, dan HMS Racoon, sudah bersiap menunggu perintah. Saat jarum jam mendekati pukul 09:00, negosiasi antara Inggris dan Sultan Khalid berakhir buntu. Khalid menolak meninggalkan istananya. Dua menit kemudian, pada pukul 09:02, Inggris mulai menyerang.

Dalam hitungan detik, langit di atas Zanzibar dipenuhi asap tebal dan suara ledakan yang menggelegar. Meriam-meriam Inggris dengan mudah menghancurkan istana Sultan. Pasukan Khalid, yang kebanyakan terdiri dari budak dan warga sipil bersenjata seadanya, tidak berdaya menghadapi kekuatan Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang sangat superior. Pertahanan Khalid runtuh dalam waktu singkat.

Meskipun Khalid telah mempersiapkan beberapa meriam kecil dan kapal perang milik Zanzibar, mereka tidak mampu memberikan perlawanan berarti. Kapal HHS Glasgow, satu-satunya kapal perang milik Zanzibar, dengan cepat tenggelam akibat serangan dari kapal Inggris. Sebagian besar pasukan Khalid melarikan diri atau tewas di tempat, sementara Khalid sendiri menyaksikan kehancuran dari dalam istananya.

Tonton Juga :  Sejarah Rokok, Dulu Dianggap Punya Kekuatan Mistis

Pada pukul 09:40—kurang dari 45 menit setelah perang dimulai—pertempuran resmi berakhir. Khalid melarikan diri ke Konsulat Jerman, di mana ia mencari suaka. Meskipun Inggris mendesak Jerman untuk menyerahkan Khalid, Jerman menolak, dan akhirnya Khalid diasingkan ke Afrika Timur Jerman, yang kini menjadi bagian dari Tanzania.

Dalam waktu kurang dari satu jam, Inggris telah berhasil menundukkan Kesultanan Zanzibar dan mengakhiri segala bentuk perlawanan. Setelah perang, Sultan Hamoud bin Mohammed diangkat sebagai Sultan oleh Inggris, dan pemerintahannya menjadi simbol dominasi Inggris yang semakin kuat di wilayah tersebut. Sultan Hamoud, yang sangat dipengaruhi oleh Inggris, kemudian menandatangani dekrit yang menghapus perbudakan di Zanzibar pada tahun 1897, sebuah langkah penting dalam menghentikan perdagangan budak di wilayah tersebut.

Secara keseluruhan, dampak perang ini sangat signifikan meskipun durasinya sangat singkat. Bagi Inggris, kemenangan ini memastikan kendali mereka atas salah satu pusat perdagangan penting di Afrika Timur, sekaligus mengirimkan pesan yang kuat kepada wilayah-wilayah lain bahwa perlawanan terhadap kekuatan kolonial tidak akan bertahan lama. Zanzibar, meskipun tetap memiliki sultan, praktis menjadi boneka Inggris hingga negara tersebut memperoleh kemerdekaan pada abad ke-20.(mth)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: