MESIR | Priangan.com – Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri pada abad ke-12 hingga awal abad ke-13, merupakan salah satu periode yang penuh dengan transformasi dan konflik dalam sejarah Islam. Didirikan oleh Salahuddin Al-Ayyubi (Saladin), dinasti ini menandai peran krusial dalam perlawanan terhadap Tentara Salib dan dalam merebut kembali Baitul Maqdis, yang telah dikuasai oleh pasukan Salib selama hampir 90 tahun.
Keberhasilan Salahuddin dalam mengalahkan pasukan Salib, serta penguasaan wilayah yang luas, menjadikan Dinasti Ayyubiyah sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah. Namun, seperti halnya kebanyakan dinasti besar, Ayyubiyah tidak mampu bertahan lama. Kejatuhan dinasti ini dipengaruhi oleh serangkaian faktor internal dan eksternal yang saling terkait.
Salahuddin lahir pada tahun 1137 di Tikrit, Irak. Meskipun berasal dari keluarga Kurdish, ia berhasil mendirikan dinasti yang menjadi kekuatan utama di dunia Islam. Karier militernya dimulai saat bergabung dengan pasukan Dinasti Zengid di bawah pimpinan pamannya, Shirkuh.
Namun, kejeniusannya dalam pertempuran dan taktik politik membawanya untuk merebut Mesir dari Dinasti Fatimiyah pada tahun 1169. Keputusan Salahuddin untuk menyatakan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad pada 1171 menandai berakhirnya kekuasaan Fatimiyah dan dimulainya era baru di Mesir.
Pada tahun 1187, Salahuddin meraih kemenangan gemilang dalam Pertempuran Hattin, yang membuka jalan bagi perebutan Yerusalem kembali oleh pasukan Muslim. Keberhasilan ini tidak hanya memperkuat posisi politiknya, tetapi juga menjadikannya simbol heroik dalam sejarah dunia Islam. Dinasti Ayyubiyah, yang dipimpin oleh Salahuddin, dengan cepat menguasai Mesir, Suriah, Hijaz, dan Levant.
Namun, setelah kematian Salahuddin pada tahun 1193, Dinasti Ayyubiyah mulai menghadapi berbagai tantangan serius yang memicu keretakan dalam internalnya. Salah satu penyebab utama adalah perseteruan antara cabang-cabang keluarga Ayyubiyah, terutama antara mereka yang menguasai Mesir dan Syam.
Wilayah-wilayah yang sebelumnya setia kepada pusat kekuasaan di Mesir mulai memperjuangkan kemerdekaan mereka, seperti yang terjadi di Karak dan Yerusalem. Ketegangan ini semakin diperparah oleh persaingan antara Ayyubiyah di Mesir dan Ayyubiyah di Syam, yang turut menciptakan ketidakstabilan dalam pemerintahan.
Di luar ancaman internal, Dinasti Ayyubiyah juga harus berhadapan dengan tekanan besar dari luar. Pada Perang Salib Keenam (1228-1229), Kaisar Friedrich II dari Eropa berhasil memaksakan perjanjian yang mengharuskan Ayyubiyah menyerahkan beberapa wilayah kepada Tentara Salib, meskipun dalam konteks ini, Ayyubiyah berhasil mempertahankan sebagian besar tanah mereka.
Ketegangan ini berlanjut dengan Perang Salib Ketujuh pada tahun 1248, yang dipimpin oleh Raja Louis IX dari Prancis. Serangan Tentara Salib ini berhasil mengalahkan pasukan Ayyubiyah di Mesir, memicu kehancuran dan melemahnya kekuasaan Ayyubiyah.
Pada paruh pertama abad ke-13, Dinasti Ayyubiyah juga menghadapi ancaman baru dari luar: bangsa Mongol. Di bawah kepemimpinan Hulagu Khan, Mongol mulai menyerbu wilayah Ayyubiyah di Syam dan al-Jazira. Kejatuhan Aleppo pada 1260 menjadi simbol kehancuran yang dibawa oleh Mongol. Tak lama setelah itu, Baghdad juga jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, memicu ketegangan lebih lanjut di dunia Islam.
Namun, salah satu faktor yang lebih meruntuhkan Dinasti Ayyubiyah adalah konflik internal yang terjadi dengan Mamluk. Mamluk, kelompok militer yang berasal dari budak-budak Turki, mulai memainkan peran dominan di Mesir. Dengan ketidakstabilan yang melanda, Mamluk di bawah komando Qutuz dan Baibars berhasil mengalahkan pasukan Mongol dalam Pertempuran Ain Jalut pada 1260.
Keberhasilan ini menandai titik balik dalam sejarah Dinasti Ayyubiyah, dengan Mamluk yang akhirnya merebut Damaskus dan wilayah Syam, mengakhiri kekuasaan Ayyubiyah di kawasan tersebut.
Setelah serangkaian perang dan konflik, Dinasti Ayyubiyah akhirnya tak mampu bertahan. Pada tahun 1260-an, Mesir secara resmi jatuh ke tangan Mamluk. Mamluk, yang pada awalnya bertindak sebagai pengawal Sultan Ayyubiyah, kini mengambil alih kendali penuh. Perjuangan kekuasaan antara Mamluk dan sisa-sisa pemerintahan Ayyubiyah berakhir dengan pengalihan kekuasaan secara damai. Pada 1261, Mamluk di bawah pimpinan Sultan Baibars memegang kendali penuh atas Mesir, yang menandai berakhirnya pemerintahan Ayyubiyah di kawasan tersebut.
Meskipun Dinasti Ayyubiyah tidak bertahan lama setelah kepergian Salahuddin, warisan mereka tetap hidup dalam sejarah. Salahuddin, dengan keberaniannya dalam menghadapi Tentara Salib dan dalam merebut kembali Yerusalem, tetap menjadi simbol ketahanan dan kepemimpinan bagi dunia Islam.
Pengaruh Ayyubiyah juga terlihat dalam perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dengan pendirian berbagai lembaga pendidikan dan kemajuan dalam bidang seni serta arsitektur. Namun, faktor-faktor internal seperti perpecahan keluarga, serangan eksternal dari Mongol dan Tentara Salib, serta konflik dengan Mamluk menjadi penentu akhir dari kebesaran dinasti ini.
Dinasti Ayyubiyah bukan hanya sebuah babak dalam sejarah, tetapi juga sebuah simbol perjuangan dan perubahan dalam dunia Islam. Warisan mereka terus menginspirasi generasi-generasi berikutnya yang berusaha memahami dinamika politik, agama, dan budaya yang membentuk Timur Tengah. (mth)