BANDUNG | Priangan.com – Pada 17 hingga 24 Juni 1916, Alun-Alun Bandung menjadi saksi salah satu peristiwa besar dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, yaitu Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam (CSI). Peristiwa ini tidak hanya menandai awal kebangkitan organisasi Sarekat Islam sebagai kekuatan nasional, tetapi juga menjadi momentum penting bagi persatuan bangsa di tengah penjajahan Belanda.
Sejak hari pertama, suasana Alun-Alun Bandung berubah menjadi pesta rakyat. Ribuan orang dari berbagai daerah memadati kawasan tersebut. Gubuk-gubuk berjejer rapi memamerkan aneka barang kerajinan dan makanan khas, yang hasil penjualannya didonasikan untuk mendukung Madrasatoel Ibtidayah, sebuah sekolah agama Islam yang baru didirikan. Setiap malam, alun-alun disinari lampion warna-warni, sementara hiburan seperti bioskop dan pertunjukan wayang menggembirakan masyarakat.
Dalam catatan Mohammad Roem, suasana kongres berlangsung seperti pasar malam. Bahkan, Haji Hasan Mustapa, salah satu tokoh Sunda, mencatat dalam ingatannya bagaimana ribuan orang dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali turut hadir, mencerminkan keberagaman Indonesia di masa itu.
Kongres ini juga menunjukkan solidaritas Sarekat Islam terhadap Turki Utsmani, yang saat itu terlibat dalam Perang Dunia I. Meskipun bendera Turki dilarang oleh pemerintah kolonial untuk diarak dalam iring-iringan, semangat simpati tetap terasa. Sarekat Islam sebelumnya telah aktif menggalang dana melalui komite Bulan Sabit Merah untuk membantu Turki pada tahun 1915.
Kongres ini dihadiri oleh 80 delegasi dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Tiga jenis rapat digelar: rapat pendahuluan, rapat umum terbuka di alun-alun, dan rapat tertutup di Societeit Concordia. Salah satu momen penting adalah pidato Ketua CSI, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, yang menyerukan persatuan umat Islam dan pentingnya pendidikan untuk kemajuan bangsa.
Dalam rapat tertutup, isu pendidikan menjadi agenda utama. Abdoel Moeis mengusulkan pendirian sekolah untuk guru pribumi, sementara DK Ardiwinata menekankan perlunya memajukan ekonomi dan agama Islam secara seimbang. Kongres juga menghasilkan beberapa keputusan penting terkait strategi perjuangan nasional melawan penjajahan.
Kongres ini juga menjadi panggung bagi perempuan untuk berkontribusi dalam perjuangan. Guru-guru dari Sekolah Kautamaan Istri bertugas melayani tamu dengan penuh keramahan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya menjadi pendukung, tetapi juga bagian integral dari pergerakan nasional.
Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam ini menegaskan bahwa Sarekat Islam telah berkembang menjadi organisasi nasional, tidak lagi terbatas pada lingkup lokal. Sebagai organisasi yang menghimpun berbagai lapisan masyarakat, Sarekat Islam menjadi cikal bakal perjuangan kolektif bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Peristiwa ini tidak hanya mencerminkan semangat persatuan dan kebangkitan bangsa, tetapi juga menjadi bukti bahwa di tengah penindasan, rakyat Indonesia mampu mengorganisasi diri, menyuarakan aspirasi, dan menunjukkan solidaritas kepada sesama. Kongres ini menorehkan jejak penting dalam perjalanan panjang menuju Indonesia merdeka. (mth)