YOGYAKARTA | Priangan.com – Fotografi telah menjadi bagian penting dalam kehidupan modern, berkat perkembangan teknologi yang pesat, terutama dengan hadirnya kamera dalam ponsel pintar. Namun, perjalanan panjang fotografi di Indonesia dimulai jauh sebelum era digital, ketika kamera pertama kali dibawa oleh bangsa Eropa ke Nusantara.
Di tengah keterbatasan akses terhadap teknologi ini, muncul seorang tokoh yang dikenal sebagai fotografer pertama dari kalangan bumiputera yaitu Kassian Cephas.
Kassian Cephas lahir di Yogyakarta pada 15 Januari 1845, sebagai keturunan Jawa tulen. Nama “Kassian” terdengar asing bagi masyarakat Jawa, namun ada makna mendalam di balik nama tersebut. Dalam Jurnal Dharmasmrti karya Farhan Adityasasmara pada Tahun 2017, kata “Kassian” dapat dihubungkan dengan “kasihan” dalam bahasa Melayu, sementara “Cephas” berasal dari bahasa Aramaic, yang berarti “karang tak tergoyahkan.” Nama ini menjadi identitas baru bagi Kassian setelah ia dibaptis pada usia 15 tahun, pada 27 Desember 1860, di Purworejo.
Masa kecil Kassian dihabiskan sebagai pelayan di rumah seorang Belanda di Bagelen, Purworejo. Namun, tak lama setelah itu, ia kembali ke Yogyakarta dan menikahi Dina Rakijah, seorang wanita Jawa. Keluarga Cephas tinggal di kawasan Lodji Ketjil Wetan, yang kini dikenal sebagai Jalan Mayor Suryotomo.
Pada 1860-an, Kassian mulai tertarik pada dunia fotografi. Di bawah bimbingan Simon Willem Camerik, ia belajar tentang seni memotret. Pada waktu yang sama, Sultan Hamengkubuwana VI menyadari bakatnya dan meminta Simon Camerik untuk melatih Kassian dalam fotografi. Kassian kemudian diangkat sebagai pelukis dan fotografer istana pada 1871, menandai awal karier profesionalnya di dunia fotografi.
Selain bekerja untuk Kesultanan Yogyakarta, Kassian juga pernah menjadi magang di bawah Isidore van Kinsbergen, seorang fotografer ternama asal Belanda. Di sinilah ia memperoleh pelajaran berharga dalam dunia fotografi, khususnya dalam mendokumentasikan peninggalan budaya Jawa-Hindu.
Kassian terus mengasah kemampuannya selama lebih dari satu dekade, hingga akhirnya ia diundang untuk bergabung dalam organisasi riset, Archeologische Vereeniging, yang didirikan oleh Isaac Groneman, seorang dokter Belanda yang tertarik pada sejarah dan budaya Jawa.
Kerja sama antara Kassian dan Groneman menjadi titik balik penting dalam kariernya. Pada akhir 1870-an, Groneman meminta izin Sultan Hamengkubuwana VII untuk membiarkan Kassian memotret adegan tari di keraton, yang menjadi karya fotografi besar pertama dalam rangka membangkitkan minat pada budaya Jawa di Belanda.
Pada 1877, Kassian membuka studio fotografi di lantai dua gedung tempat tinggalnya di Lodji Ketjil Wetan, menjadikannya satu-satunya fotografer bumiputera yang memiliki studio di kawasan tersebut. Ia segera mempromosikan studio fotografinya melalui iklan di koran pertama Yogyakarta, Mataram.
Meskipun sempat mengalami kerugian akibat banjir besar yang merusak studionya pada 1877, Kassian terus melanjutkan usahanya, menghasilkan karya-karya monumental, termasuk foto Istana Air Taman Sari pada 1884.
Karya-karya Kassian tidak hanya terbatas pada potret pribadi, tetapi juga mencakup dokumentasi bangunan bersejarah dan monumen kuno. Ia adalah salah satu fotografer yang mendokumentasikan berbagai peristiwa penting dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1899, Kassian berkolaborasi dengan Groneman untuk mendokumentasikan peringatan kenaikan tahta Hamengkunegara III sebagai Putra Mahkota Kesultanan Yogyakarta.
Setelah mengabdikan dirinya pada dunia fotografi selama lebih dari tiga dekade, Kassian pensiun pada usia 60 tahun, sekitar tahun 1905. Ia menikmati masa tuanya bersama keluarganya hingga istrinya, Dina Rakijah, meninggal pada 1911. Kassian sendiri wafat pada 1912 dalam usia 67 tahun.
Kassian Cephas tidak hanya diingat sebagai fotografer pertama dari kalangan bumiputera, tetapi juga sebagai pelopor yang mengubah wajah fotografi di Indonesia. Ia menjadi simbol dedikasi terhadap seni dan budaya, serta pencapaian luar biasa bagi komunitas pribumi di masa colonial.
Studi fotografi yang ia bangun diteruskan oleh anaknya, Sem Cephas, yang juga terjun ke dunia fotografi, meskipun usaha tersebut harus berakhir setelah Sem meninggal pada 1918.
Dengan demikian, Kassian Cephas tetap menjadi tokoh penting dalam sejarah fotografi Indonesia, yang tak hanya mengabadikan momen, tetapi juga melestarikan budaya dan warisan sejarah Nusantara.(mth)