Historia

Arnold Mononutu; Redup di Kancah Nasional, Menyala di Manado

Sosok Arnold Mononutu | Istimewa

JAKARTA | Priangan.com – Kalau berbicara soal kemerdekaan Indonesia, sudah barang tentu bahasannya tak akan terlepas dari kisah-kisah perjuangan yang dilakukan oleh sederet tokoh bangsa. Banyak dari mereka yang namanya kemudian dikenal sampai hari ini, bahkan diabadikan sebagai pahlawan nasional. Tapi, ada juga sederet pejuang yang namanya justru kurang terkenal, padahal punya kontribusi yang tak kalah besar.

Salah satunya adalah Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu atau yang akrab disapa Arnold Mononutu. Sosok asal Sulawesi Utara ini punya kontribusi yang sangat besar di era perjuangan dan masa awal kemederkaan Republik Indonesia.

Lahid di Manado, 4 Desember 1896, putra pasangan Karel Charles Wilson Mononutu dan Agustina Van der Slot itu tumbuh di keluarga yang sangat menghargai pendidikan. Itu bisa dilihat dari riwayat pendidikannya yang tak pernah asal-asalan dalam memilih sekolah. Arnold, tercatat pernah belajar di dua sekolah elit pada masa kolonial, yakni Europeesche Lagere School (ELS) di Gorontalo dan Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia.

Selama mengenyam pendidikan di Batavia itulah ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh nasional seperti A.A. Maramis dan Achmad Subardjo. Dua tokoh ini banyak mempengaruhi pandangannya terhadap perjuangan kemerdekaan.

Selesai mengenyam pendidikan di HBS, Arnold melanjutkan sekolah ke Akademi Hukum Internasional di Den Haag, Belanda, pada tahun 1920. Di tanah Eropa itu, ia kemudian menemukan kesadaran baru akan pentingnya kemerdekaan. Lewat organisasi Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging), Arnold mulai terlibat dalam gerakan kemerdekaan yang menginspirasi banyak pemuda Indonesia di perantauan.

Pada tahun 1927, ia akhirnya kembali ke tanah air. Pasca lulus itu Arnold kemudian terjun ke dalam dunia politik dan bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Selama hidup di Jakarta, Arnold sempat tinggal bersama Suwirjo dan Sugondo Djojopuspito. Merekalah yang kelak menginisiasi Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan melahirkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Tonton Juga :  ELS, Pendidikan Elit Kolonial untuk Anak Bangsa Belanda di Hindia

Memasuki era pasca proklamasi, tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia tentunya masih belum berakhir. Belanda kala itu masih berupaya mencoba mencengkeram NKRI, salah satunya lewat upaya pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai bagian dari negara federal yang mengancam keutuhan Indonesia sebagai negara kesatuan.

Mendengar hal itu, Arnold Mononutu kemudian melakukan penentangan keras. Ia hendak melawan upaya tersebut dengan cara mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang memegang teguh kemerdekaan serta menolak keras kolonialisme Belanda.

Pada Desember 1949 hingga 1953, ia ditunjuk sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia dan menjabat di tiga kabinet berbeda. Salah satu kontribusi pentingnya adalah mengukuhkan nama Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia pada 30 Desember 1949.

Tak hanya itu, Arnold Mononutu juga turut mendedikasikan dirinya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia Timur. Ia diangkat sebagai Rektor Universitas Hasanuddin pada 1960 dan memimpin kampus itu hingga 1965. Di bawah kepemimpinannya, Universitas Hasanuddin berkembang pesat, dari tiga menjadi sembilan fakultas, dengan jumlah mahasiswa yang melonjak dua kali lipat.

Sayangnya, meski ada banyak kontribusi yang telah dilakukan oleh Arnold, sosoknya kurang dikenal. Bahkan, tak sedikit orang yang tidak mengetahuinya. Meski begitu, jika bicara Arnold di Manado, maka ia adalah sosok yang paling menyala dan terkenal di Kota Garis Biru itu. (ersuwa)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: