MOSKOW | Priangan.com – Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Prancis Emmanuel Macron kembali melakukan percakapan langsung lewat sambungan telepon pada Selasa, 1 Juli 2025. Percakapan tersebut menjadi sorotan karena menandai mencairnya kembali komunikasi antara dua pemimpin negara yang selama ini berada di posisi berseberangan, terutama terkait konflik di Ukraina.
Dalam keterangan resmi yang dirilis oleh Kremlin, diskusi antara Putin dan Macron mencakup sejumlah isu strategis, mulai dari perkembangan perang di Ukraina hingga memanasnya situasi geopolitik di Timur Tengah. Kremlin menyebut percakapan ini sebagai bagian dari “kontak kerja tingkat tinggi” yang ditujukan untuk membahas keamanan regional dan global.
Putin secara terbuka menyinggung bahwa krisis di Ukraina adalah dampak langsung dari kebijakan ekspansionis negara-negara Barat. “Konflik ini merupakan konsekuensi dari pendekatan yang mengabaikan kepentingan keamanan Rusia, termasuk upaya pendirian pangkalan militer yang bersifat anti-Rusia di sekitar perbatasan kami,” ujar Putin seperti dikutip dari siaran pers Kremlin.
Ia juga menekankan bahwa solusi damai hanya bisa dicapai melalui pendekatan menyeluruh dan jangka panjang, yang mempertimbangkan fakta teritorial baru pascaperang. “Kami menginginkan penyelesaian yang berakar pada realitas geopolitik saat ini, bukan hanya keinginan sepihak,” tambah Putin.
Sementara itu, Macron—yang dalam beberapa bulan terakhir disebut-sebut mulai melunakkan posisinya terhadap Rusia—disebut memberikan ruang untuk pembahasan diplomatik. Meski tidak dijelaskan secara detail isi pernyataan Macron, pihak Kremlin menyebut kedua pemimpin sepakat bahwa pendekatan diplomasi tetap menjadi jalan utama untuk meredakan ketegangan, baik di Ukraina maupun kawasan Timur Tengah.
Isu lain yang turut dibahas dalam percakapan tersebut adalah potensi eskalasi konflik antara Iran dan Israel. Kedua pemimpin menyuarakan kekhawatiran atas meningkatnya ketegangan di kawasan dan menekankan pentingnya menjaga stabilitas regional. Dalam konteks ini, Rusia dan Prancis menyatakan kesamaan pandangan soal peran vital Dewan Keamanan PBB dalam menegakkan perdamaian dan mencegah proliferasi senjata nuklir.
Menariknya, percakapan ini terjadi di tengah menurunnya intensitas dukungan militer Prancis kepada Ukraina. Pemerintah Macron belakangan diketahui mulai menahan pengiriman bantuan militer tambahan dan cenderung mendorong penyelesaian konflik melalui jalur diplomatik.
Hubungan bilateral Rusia–Prancis sendiri sempat membeku sejak pecahnya invasi ke Ukraina pada awal 2022. Percakapan ini diyakini menjadi momentum penting yang bisa membuka kembali jalur komunikasi antara Moskow dan Paris, di tengah polarisasi geopolitik global yang masih terus berlangsung. (zia)