Sunat Perempuan Dilarang, dr. Leli: Risiko Trauma dan Tak Ada Manfaat Medisnya

GARUT | Priangan.com – Polemik mengenai praktik sunat pada bayi perempuan kembali mencuat ke permukaan. Perdebatan semakin menghangat setelah pemerintah pusat secara resmi melarang tindakan tersebut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam aturan tersebut, disebutkan secara tegas pada Pasal 102 bahwa praktik sunat perempuan tidak lagi diperbolehkan di wilayah Indonesia.

Namun, di lapangan, praktik ini rupanya masih terjadi dan menyisakan perbedaan pandangan antara aspek medis dan keyakinan agama. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut, KH. Sirojul Munir—akrab disapa Ceng Munir—masih berpendapat bahwa sunat bagi bayi perempuan tetap perlu dilakukan, terutama dalam konteks menjaga kebersihan yang berkaitan dengan syarat sahnya ibadah.

“Dalam pandangan kami, sunat perempuan itu bagian dari menjaga kebersihan dan mensucikan diri. Ini terkait dengan masalah ibadah, karena najis itu harus dihilangkan,” ujar Ceng Munir kepada awak media.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, dr. Hj. Leli Yuliana, M.M. Ia menegaskan bahwa dalam dunia medis, tindakan sunat perempuan yang dilakukan dengan cara memotong bagian tubuh tertentu, tidak dikenal dan tidak direkomendasikan.

“Kalau yang dimaksud sunat itu adalah memotong sebagian kecil bagian organ genital perempuan, secara medis tindakan seperti itu tidak ada. Jadi perlu diluruskan dulu definisinya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan sunat perempuan itu?” ungkap dr. Leli saat ditemui Kamis (3/7/2025).

Lebih lanjut, dr. Leli menegaskan pentingnya dialog lintas sektor untuk menyamakan persepsi antara pihak keagamaan dan medis. Ia menyebut, istilah “sunat perempuan” seharusnya tidak disamakan dengan sunat pada laki-laki yang memang secara medis terbukti memiliki manfaat kebersihan dan kesehatan.

Lihat Juga :  Dampak Serangan Udara ke Lebanon Israel Terima Peringatan Risiko “Perang Baru”

“Dalam praktik medis, kami tidak mengenal sunat perempuan dalam bentuk memotong jaringan tubuh. Tapi kalau hanya dalam konteks membersihkan bagian luar seperti lipatan kulit di sekitar klitoris bayi, ya itu masuk dalam kategori kebersihan biasa. Itu pun tidak perlu disebut sunat,” tambahnya.

Lihat Juga :  Longsor, Jalan Utama Desa Sukamukti-Cisayong Lumpuh

Ketika ditanya soal dampak medis dan psikologis dari praktik sunat perempuan dengan metode pemotongan, dr. Leli menegaskan bahwa tindakan tersebut berisiko menimbulkan trauma.

“Kalau dilakukan pemotongan, apalagi tanpa anestesi atau teknik yang aman, itu bisa menimbulkan rasa sakit, trauma, dan dampak psikologis jangka panjang. Jadi sangat tidak disarankan,” tegasnya.

Terkait isu yang kerap beredar bahwa sunat perempuan bisa menurunkan gairah seksual saat dewasa nanti, dr. Leli menyatakan bahwa klaim tersebut belum terbukti secara ilmiah dan harus diteliti lebih lanjut.

“Kalau soal itu, belum ada data atau penelitian yang cukup kuat untuk membuktikan klaim tersebut. Jadi tidak bisa serta-merta disimpulkan. Harus berbasis penelitian dulu,” katanya sembari tersenyum.

Di tengah perbedaan pandangan ini, dr. Leli menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat agar tidak salah kaprah mengenai makna dan praktik sunat perempuan.

Ia berharap pendekatan berbasis medis dan dialog lintas keyakinan dapat menjadi jalan tengah untuk menyudahi polemik ini secara arif dan bijak. (Az)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos