Historia

Kiprah Tjipto Mangoenkoesoemo, Si Dokter Revolusi dan Arsitek Kemerdekaan Indonesia

Ilustrasi Tjipto Mangoenkoesoemo Memakai Pakaian Adat Tradisional Jawa | Foto : Net

JAKARTA | Priangan.com – Di tengah gejolak sosial dan politik awal abad ke-20, Tjipto Mangoenkoesoemo muncul sebagai sosok yang memadukan kecerdasan tajam dengan keberanian luar biasa. Lahir dari keluarga bangsawan dan terdidik di sekolah kedokteran terkemuka, Tjipto tidak hanya menolak batasan sosial yang mengikatnya, tetapi juga secara aktif melawan penjajahan dan ketidakadilan.

Dari kongres-kongres yang penuh perdebatan hingga pengasingan yang menantang, perjalanan hidupnya adalah kisah perjuangan tanpa henti untuk kemerdekaan dan keadilan di tanah airnya.

Tjipto Mangoenkoesoemo, lahir pada tahun 1886 di Pecangakan dekat Ambarawa, adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Melayu dan kepala sekolah di Sekolah Rakyat Semarang, sementara ibunya berasal dari keluarga kaya raya di Mayong Jepara.

Tak berhenti disana, Kakek dari Tjipto juga adalah putra seorang prajurit Pangeran Diponegoro, menandakan latar belakang keluarga Tjipto yang kuat dan berpengaruh di masyarakat Jawa.

Meski berasal dari keluarga terkemuka, Tjipto tidak menjadi bagian dari golongan priyayi birokrasi, melainkan dikenal sebagai sosok yang mencerminkan ketidakpuasan terhadap status sosial yang ada.

Tjipto melanjutkan pendidikan di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia, di mana ia dikenal sebagai murid yang berbakat dan cerdas. Selama masa studinya, ia menunjukkan sikap yang berbeda dari teman-temannya, baik dalam hal pemakaian pakaian maupun kebiasaan pribadi.

Tjipto, tidak hanya terampil dalam bidang akademik, tetapi juga menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada masalah sosial dan politik, yang kemudian membentuk pandangan dan tindakannya dalam karir politiknya.

Sebagai pejabat kesehatan, Tjipto mengamati ketidakadilan sosial dan diskriminasi yang dialami rakyat biasa di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Di Surakarta dan Demak, ia sering berselisih dengan pejabat lokal mengenai perlakuan terhadap bawahan dan kebijakan feodal.

Tonton Juga :  Mengenal Lebih Dekat Nikola Tesla, Ilmuan Hebat yang Kerap Dipandang Punya Ide Gila

Tindakan Tjipto yang berani dan provokatif, seperti mengenakan pakaian daerah golongan rendah dan mempertanyakan hak-hak istimewa, mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap sistem sosial yang ada.

Pada kongres I Budi Utomo (BU) tahun 1908, Tjipto tampil sebagai pemimpin kelompok radikal yang ingin mengubah organisasi menjadi lebih inklusif dan memperjuangkan kepentingan rakyat secara umum, bukan hanya golongan priyayi. Penolakannya terhadap usulan program konservatif dalam BU dan keinginannya untuk memperluas jangkauan organisasi ke seluruh Indonesia menunjukkan visi politiknya yang lebih luas dan progresif.

Setelah keluar dari Budi Utomo, Tjipto mendirikan Indische Partij (IP) bersama Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat pada tahun 1911. IP memperjuangkan nasionalisme “Hindia” dan menuntut kemerdekaan, mewakili kepentingan semua penduduk tanpa membedakan suku, golongan, atau agama. Tjipto berjuang keras untuk kesetaraan pendidikan dan hak kepemilikan tanah, meski ide-idenya sering kali bertentangan dengan konsensus masyarakat.

Sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1918, Tjipto terus mengkritik kebijakan kolonial dan diskriminasi rasial. Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief memprotes ketidakadilan sosial, yang membuatnya menghadapi peringatan keras dari pemerintah Belanda.

Pada tahun 1913, Tjipto, bersama Ki Hadjar Dewantara dan Douwes Dekker, dibuang ke Belanda akibat kegiatan propaganda anti-kolonial mereka.

Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1914, Tjipto menerbitkan surat kabar radikal Panggugah dan terus menghadapi perlawanan dari pihak-pihak konservatif. Ia terlibat dalam konflik dengan penguasa Kasunanan dan terpaksa berpindah ke Bandung pada tahun 1920.

Di Bandung, Tjipto melanjutkan praktik kedokteran dan bertemu dengan tokoh nasionalis Sukarno. Bersama Sukarno, ia mendirikan Algemeene Studieclub yang kemudian berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927.

Pada tahun 1927, Tjipto dituduh terlibat dalam pemberontakan komunis dan dibuang ke Banda. Meskipun masa terakhir hidupnya diwarnai oleh pengasingan, pengaruh Tjipto Mangoenkoesoemo dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tetap signifikan. Ide-idenya yang radikal dan kritik tajam terhadap sistem kolonial memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan gerakan kemerdekaan dan nasionalisme Indonesia. (mth)

Tonton Juga :  Mengenang KH Zainal Mustafa, Pahlawan dari Tasikmalaya yang Berjuang Lawan Penjajah Jepang
zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: