GARUT | Priangan.com – Di tengah kerasnya dunia sepakbola yang selama ini identik dengan laki-laki, hadir sosok Tarissa Rahmadanti Nurpadila, wasit muda asal Cikajang, Kabupaten Garut, yang tampil mematahkan stigma dan meretas batas. Lahir pada 3 Desember 2000 dari pasangan Iman Suherman dan almarhumah Rini Giri, Tarissa kini menjadi salah satu wasit perempuan berlisensi C1 Nasional yang aktif memimpin laga-laga penting di berbagai level kompetisi nasional.
Wajah ayu, suara tegas, dan postur atletis setinggi 165 cm membuat kehadirannya di lapangan hijau langsung mencuri perhatian. Namun jangan salah, Tarissa bukan sekadar simbol keterwakilan perempuan. Ia adalah pengadil lapangan yang benar-benar paham aturan main, tangguh secara fisik, dan berani mengambil keputusan—tanpa ragu, tanpa takut.
“Awalnya coba-coba saja, karena saya ingin menjajal hal yang tidak umum dilakukan perempuan. Tapi ternyata, semakin saya terjun, semakin jatuh cinta,” ujar Tarissa usai memimpin pertandingan Piala Persigar di Stadion Jayaraga, Kamis (3/7/2025).
Ia memulai kariernya di dunia perwasitan pada 2017, mengikuti kursus wasit C3 saat usianya baru 17 tahun. Tahun berikutnya, ia langsung mendapat kesempatan memimpin laga Piala Bupati di Malangbong. Tak butuh waktu lama, lisensi demi lisensi pun ia kantongi, hingga pada 2023 ia berhasil lulus kursus wasit C1 tingkat nasional—sebuah pencapaian yang tidak mudah diraih, apalagi bagi perempuan.
Lulusan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) UPI Bandung ini telah malang melintang memimpin berbagai ajang, dari Piala Soeratin, Liga Santri, Kejurda U-14, Gala Siswa Indonesia, hingga Piala Menpora U-17. Bahkan, ia sudah dipercaya memimpin pertandingan Liga 1 Putri—kompetisi tertinggi sepakbola perempuan Indonesia—yang mempertemukannya dengan klub-klub besar seperti Persib, Persija, dan PSIS.
Tak lama lagi, Tarissa akan kembali bertugas di level nasional. “Insya Allah, tanggal 7 sampai 14 Juli saya akan bertugas di Piala Pertiwi U-14 dan U-16 tingkat nasional di Kudus,” ucapnya bangga.
Cinta Tarissa terhadap sepakbola tidak datang tiba-tiba. Ia mewarisi darah bola dari sang ayah, Iman Suherman alias Iman Luwey, mantan pemain Persigar Garut yang kini menjadi pelatih kiper Persijap Jepara. “Ayah saya inspirasi terbesar. Beliau tahu suka-duka dunia ini dan selalu mendukung penuh keputusan saya menjadi wasit,” tuturnya.
Bagi Tarissa, menjadi wasit bukan hanya soal berlari mengejar bola atau meniup peluit. Ia menekankan pentingnya memahami LOTG (Laws of The Game), menjaga fisik dan mental, serta menjaga sikap netral dalam setiap laga.
“Menjadi wasit itu harus punya integritas, ketegasan, keberanian, dan yang paling penting adalah attitude. Kita tidak boleh berpihak, tidak bisa diintervensi siapa pun,” katanya dengan penuh keyakinan.
Ia mengajak perempuan muda lainnya untuk tidak ragu terjun ke dunia yang selama ini didominasi laki-laki. “Indonesia masih kekurangan wasit perempuan. Peluangnya sangat besar, dan kita bisa membuktikan bahwa perempuan juga bisa berdiri di tengah lapangan dengan wibawa,” tegasnya.
Tarissa mengakui, profesi wasit punya tantangan sendiri. Terkadang, tekanan dari pemain, pelatih, hingga suporter bisa sangat berat. Tapi semua itu menjadi bagian dari proses pendewasaan.
“Yang paling menyenangkan, kita bisa jalan-jalan keluar kota, ketemu teman-teman baru dari berbagai daerah, dan semuanya ditanggung PSSI,” ucapnya. (Az)