Ibnu Hajar, Pejuang yang Mati sebagai Seorang Pemberontak

JAKARTA | Priangan.com – Namanya Ibnu Hajar. Ia adalah seorang pejuang yang berakhir sebagai pemberontak. Lahir dengan nama asli Haderi pada April 1920 di Ambutun, Telaga Langsat, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, ia berasal dari keluarga sederhana.

Ayahnya, Umar, merupakan seorang petani, sementara ibunya, Siti Hadijah, memiliki darah keturunan kepala suku Dayak di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah. Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang keras dan pemberani, serta memiliki pemahaman agama yang kuat. Kemampuannya dalam membaca dan mengajarkan Al-Qur’an membuatnya dihormati di lingkungannya.

Masa mudanya dihabiskan sebagai petani dan pencari madu, hingga kedatangan penjajah Jepang mengubah arah hidupnya. Setelah Indonesia merdeka, ia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan menjadi bagian dari gerilyawan yang beroperasi di Kalimantan Selatan.

Kiprahnya dalam perang gerilya membuatnya tercatat sebagai Letnan Dua di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV. Bersama tokoh seperti Hasan Basry, ia berjuang memastikan Kalimantan tetap berada dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, ketika pemerintah mulai merombak struktur militer pada akhir 1949, nasibnya berubah drastis. Kebijakan rasionalisasi TNI menyebabkan banyak prajurit kehilangan posisinya, termasuk Ibnu Hajar.

Faktor administrasi, seperti ketidakmampuannya membaca aksara Latin, membuatnya tidak lolos seleksi. Kekecewaan pun muncul, terutama setelah melihat mantan anggota polisi Belanda mendapat jabatan dalam pemerintahan yang baru. Lebih lanjut, kedatangan pejabat dari luar daerah yang menduduki posisi strategis di Kalimantan Selatan semakin memunculkan ketidakpuasannya.

Rasa frustrasi itu akhirnya melahirkan perlawanan. Pada Maret 1950, ia membentuk kelompok bersenjata bernama Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT) dan mulai melancarkan serangan terhadap pos-pos militer pemerintah. Gerakannya menarik perhatian banyak mantan pejuang gerilya yang merasa ditinggalkan oleh negara. Dalam waktu singkat, kelompoknya berkembang hingga beranggotakan ratusan orang. Seiring waktu, pada tahun 1957, KRjT secara resmi bergabung dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo.

Lihat Juga :  Super Cub, Motor Legendaris yang Mampu Bangkitkan Honda dari Keterpurukan

Ibnu Hajara sendiri kemudian diangkat sebagai Panglima Angkatan Perang Tentara Islam (APTI) di Kalimantan dan namanya masuk dalam struktur pemerintahan Negara Islam Indonesia (NII).

Lihat Juga :  Menelusuri Sisi Gelap Paris, Labirin Tulang dan Sejarah Katakombe yang Terpendam di Bawah Kota

Pada awalnya, gerakan Ibnu Hajar tidak menunjukkan ancaman serius bagi pemerintahan pusat. Bahkan, Pemilu 1955 tetap berjalan lancar di Kalimantan Selatan meskipun kelompoknya sempat mengancam akan menggagalkan proses pemilihan. Namun, setelah melakukan ekspansi dan membentuk divisi perlawanan di beberapa wilayah, konflik semakin memanas. Pemerintah mulai kehilangan kesabaran dan mengerahkan pasukan untuk menumpas gerakannya.

Presiden Sukarno secara terbuka meminta Ibnu Hajar dan pasukannya menyerah, namun seruan itu diabaikan. Pemerintah akhirnya mengintensifkan operasi militer. Pertempuran berlangsung sengit hingga akhirnya, pada tahun 1963, Ibnu Hajar tertangkap.

Pengadilan militer menjatuhkan vonis mati atas kejahatannya melawan negara. Pada 11 Maret 1965, ia dieksekusi dan menutup kisah hidupnya sebagai sosok pejuang yang mati sebagai seorang pemberontak. (Ersuwa)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos