NEW YORK | Priangan.com – Piano yang dijatuhkan dari langit mungkin terdengar seperti kisah fiksi atau lelucon dalam kartun, tetapi peristiwa ini benar-benar terjadi di tengah kerasnya Perang Dunia II.
Saat Amerika Serikat terlibat dalam konflik global, pemerintah memberlakukan pembatasan ketat terhadap penggunaan logam seperti besi, tembaga, dan kuningan. Semua produksi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan militer dihentikan.
Industri alat musik menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Perusahaan-perusahaan yang biasanya memproduksi instrumen indah dan rumit harus mencari cara agar tetap bertahan hidup tanpa bahan baku utama mereka.
Steinway & Sons, produsen piano ternama yang telah berdiri selama hampir satu abad, menolak untuk menutup pintu.
Sebagai gantinya, mereka mengalihkan produksi ke barang-barang pendukung perang seperti peti mati dan komponen untuk pesawat layang militer.
Perusahaan lain pun melakukan hal serupa. Baldwin Piano Company memproduksi sayap pesawat dari kayu, sedangkan Gibson Guitar Company membuat mainan kayu. Meski hasilnya tidak menjanjikan keuntungan besar, usaha-usaha ini memungkinkan mereka terus beroperasi selama masa perang.
Harapan datang pada tahun 1942 ketika Steinway mendapatkan kontrak dari militer Amerika Serikat untuk membuat piano khusus bagi para prajurit. Para insinyur perusahaan tersebut merancang sebuah piano tegak yang lebih kecil dari biasanya, dengan lebar kurang dari satu meter dan berat sekitar 200 kilogram, cukup ringan untuk dipindahkan oleh empat tentara.
Piano ini juga dirancang agar tahan terhadap kondisi ekstrem di medan perang. Kayunya dilapisi larutan antirayap dan antiserangga, serta direkatkan menggunakan lem tahan air. Tutsnya tidak lagi menggunakan gading, melainkan seluloid putih agar lebih tahan terhadap iklim tropis. Untuk menghemat logam, lilitan senar bas yang biasanya berbahan tembaga diganti dengan besi lunak. Secara keseluruhan, piano ini hanya menggunakan sekitar 15 kilogram logam, jauh lebih hemat dibandingkan piano grand pada umumnya.
Piano ini diberi nama ‘Victory Verticals’. Keunikannya terletak pada kemampuannya untuk dikemas dalam peti dan dijatuhkan dari udara menggunakan parasut, lengkap dengan peralatan penyetelan dan buku panduan. Sekitar 2.500 hingga 5.000 unit dikirim ke berbagai medan perang di Eropa, Asia, dan Afrika. Ini menjadi hiburan menarik serta dapat membangkitkan semangat bagi para prajurit yang jauh dari rumah.
Di tengah kehancuran dan tekanan mental akibat perang, kehadiran musik menjadi penyelamat emosional. Piano-piano ini memberi kesempatan bagi para tentara untuk bernyanyi bersama, beribadah, belajar bermain musik, atau sekadar menikmati momen damai yang langka.
Seorang tentara bahkan menulis surat kepada ibunya tentang momen ketika sebuah jip menarik kereta kecil berisi piano Steinway hijau zaitun datang ke kamp mereka. Malam itu mereka menyanyi bersama dengan penuh kegembiraan, mengubah suasana perang yang kelam menjadi lebih hangat dan manusiawi.
Setelah perang berakhir, sebagian besar Victory Verticals tetap digunakan oleh militer, sementara sisanya dibeli oleh lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, hotel, dan tempat umum lainnya. Bahkan ketika kapal selam bertenaga nuklir USS Thomas A. Edison dibangun pada 1961, sebuah piano Steinway dipasang di ruang makan kru atas permintaan kapten kapal. Instrumen itu terus digunakan hingga kapal dinonaktifkan pada 1983 dan kini menjadi koleksi berharga di Pusat Sejarah Angkatan Laut di Washington, DC.
Kisah Victory Verticals membuktikan bahwa di tengah peperangan, manusia tetap mencari irama dan keindahan. Musik tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga simbol harapan dan kekuatan batin, membawa seberkas cahaya di tengah gelapnya perang. (LSA)