Historia

Kepala untuk Senapan: Jejak Mokomokai dalam Sejarah

Koleksi Mokomokai milik perwira angkatan darat Inggris Horatio Gordon Robley. | Wikimedia Commons.

SYDNEY | Priangan.com – Pada awal abad ke-19, terbentuklah sebuah perdagangan kelam di Selandia Baru. Perdagangan ini melibatkan penduduk asli Maori dan para pedagang Eropa.

Pedagang Barat, terutama dari Inggris, memasok senjata api kepada suku-suku Maori. Sebagai imbalannya, mereka menerima kepala orang Maori yang telah dipenggal dan diawetkan. Kepala-kepala ini dikenal sebagai mokomokai.

Kepala mokomokai dihiasi dengan tato tradisional bernama moko. Tato ini memiliki makna sosial, politik, dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat Maori.

Tato moko bukan sekadar hiasan tubuh. Ia melambangkan status, garis keturunan, serta pencapaian seseorang dalam kehidupan. Proses pemberian moko adalah ritual penting yang menandai transisi menuju kedewasaan.

Setelah pemilik moko meninggal, kepalanya sering kali diawetkan. Otak dan mata dikeluarkan, lalu lubangnya ditutup dengan serat rami dan getah. Kepala tersebut kemudian direbus, diasapi, dijemur, dan diolesi minyak ikan hiu.

Mokomokai menjadi pusaka keluarga yang sangat berharga. Biasanya hanya dibawa keluar dalam upacara-upacara penting.

Namun, kepala yang diawetkan tidak selalu berasal dari anggota keluarga. Dalam peperangan antarsuku, kepala musuh yang gugur juga dijadikan mokomokai.

Kepala musuh ini menjadi simbol kemenangan. Mereka juga berperan dalam negosiasi damai, dan pertukarannya kerap menjadi syarat penyelesaian konflik.

Pada tahun 1770, kapal HMB Endeavour yang dipimpin Kapten James Cook berlabuh di Selandia Baru. Joseph Banks, seorang botanis, melihat seorang Maori tua membawa tiga kepala di atas kano, yakni perahu ramping tradisional yang digunakan untuk berlayar di laut dan sungai.

Banks memaksa pria tua itu menukarkan salah satu kepala dengan sepasang celana dalam. Kepala itu ternyata milik remaja berusia sekitar 14 tahun. Inilah awal mula mokomokai dimiliki oleh orang Eropa.

Tonton Juga :  Maria Ulfah Santoso, Perempuan Pertama Dengan Langkah yang Menggetarkan Negara

Sejak saat itu, perdagangan mokomokai berkembang pesat. Kepala-kepala bertato ini dijual sebagai artefak, karya seni, atau spesimen museum di Eropa dan Amerika.

Nilai tukar mokomokai sangat tinggi. Semakin banyak kepala yang dijual, semakin banyak senjata yang didapatkan oleh suku Maori.

Senapan menjadi barang paling bernilai dalam perdagangan. Satu senapan bisa ditukar dengan dua ton rami atau hanya dua kepala bertato.

Perlombaan antar suku untuk memperoleh senjata pun dimulai. Banyak suku mulai mentato tawanan perang dan budak untuk dijadikan mokomokai.

Bahkan ada yang menato mayat demi mendapatkan nilai tukar. Perdagangan ini memicu Perang Senapan antarsuku yang sangat mematikan. Perang ini menyebabkan 20.000 hingga 40.000 orang tewas. Selain itu, puluhan ribu orang Maori dijadikan budak.

Pada tahun 1831, Gubernur New South Wales mengeluarkan larangan perdagangan kepala dari Selandia Baru. Larangan ini turut meredam perdagangan mokomokai.

Selain itu, kebutuhan senjata pun menurun karena semua suku telah memiliki persenjataan. Penandatanganan Perjanjian Waitangi tahun 1840 juga menandai berakhirnya masa perdagangan mokomokai.

Masyarakat Maori mulai khawatir kepala kerabat mereka dicuri. Mereka pun menghentikan praktik pengawetan kepala orang yang dicintai.

Tato moko mulai ditinggalkan. Pendeta G. Woods menyatakan bahwa seseorang dengan tato indah tidak aman kecuali ia kepala suku besar.

Meskipun dilarang, perdagangan mokomokai masih berlangsung beberapa tahun setelahnya. Ratusan kepala tetap diperjualbelikan di Eropa dan Amerika hingga tahun 1830-an.

Kini, sebagian mokomokai telah dipulangkan ke Selandia Baru. Namun, banyak yang masih tersimpan di museum atau koleksi pribadi sebagai peninggalan masa lalu yang tragis. (LSA)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: