Historia

Di Balik Sukses Bom Atom, Ilmuwan Ini Tak Pernah Lepas dari Penyesalan

Pemandangan bagian dalam Laboratorium Nasional Los Alamos saat para peneliti bekerja pada proyek uji coba nuklir pada tahun 1974. | Getty Images.

LOS ALAMOS | Priangan.com – Penemuan ilmiah sering kali menjadi titik awal dari berbagai lompatan besar dalam peradaban manusia. Ia mampu membangkitkan rasa ingin tahu, menjawab hal-hal yang belum terpecahkan, dan bahkan mengubah dunia.

Namun, bagaimana jika seorang ilmuwan justru menyesali pengetahuan yang telah ia ciptakan? Itulah yang terjadi pada J. Robert Oppenheimer, fisikawan jenius asal Amerika Serikat yang memimpin pengembangan bom atom dalam proyek rahasia selama Perang Dunia II.

Penemuannya tidak hanya mengubah arah sejarah dunia, tetapi juga membekas sebagai beban moral yang ia bawa seumur hidupnya.

Ketika Amerika Serikat bergabung dalam Perang Dunia II pada tahun 1941, Oppenheimer diminta bergabung dalam Proyek Manhattan, proyek rahasia pengembangan senjata atom.

Kemampuannya yang luas, semangat tinggi, serta kepiawaiannya dalam memimpin dan menginspirasi para ilmuwan membuat militer AS menunjuknya sebagai kepala laboratorium rahasia di Los Alamos, New Mexico, pada tahun 1942.

Oppenheimer bukan sekadar pemimpin laboratorium. Ia terlibat langsung dalam setiap langkah penting penelitian. Ia menciptakan atmosfer kerja yang penuh semangat dan tantangan ilmiah.

Ratusan, bahkan ribuan ilmuwan berkumpul di bawah koordinasinya untuk memecahkan misteri reaksi berantai neutron, kunci terciptanya ledakan nuklir. Hasilnya adalah bom atom pertama di dunia.

Pada 16 Juli 1945, di gurun terpencil selatan Los Alamos, uji coba nuklir pertama yang dikenal sebagai Trinity Test dilakukan. Ketegangan menyelimuti lokasi itu.

Para ilmuwan sadar bahwa ledakan dari bom yang mereka beri nama “Gadget” akan mengubah arah sejarah. Namun mereka juga berharap bom itu bisa mempercepat akhir perang.

Meskipun perang di Eropa telah usai, serangan terhadap Jepang diperkirakan akan jauh lebih berdarah. Dengan bom ini, pemerintah AS berharap Jepang akan menyerah tanpa perlu invasi darat besar-besaran.

Tonton Juga :  Lelucon Pohon Spageti: Ketika Media Menipu Dunia

Uji coba tersebut sukses. Dalam wawancara pada tahun 1965, Oppenheimer mengenang bahwa momen itu mengingatkannya pada kutipan dari kitab suci Hindu, Bhagavad Gita:

“Aku menjadi Kematian, penghancur dunia.”

Baginya, kutipan itu seolah menggambarkan kekuatan dahsyat yang baru saja mereka lepaskan.

Beberapa minggu kemudian, dua bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Setidaknya 110.000 jiwa melayang dalam dua serangan yang meluluhlantakkan kedua kota tersebut.

Oppenheimer termasuk dalam komite ilmiah yang menyarankan penggunaan bom terhadap Jepang. Namun hingga kini, sejarah masih memperdebatkan apakah pemerintah benar-benar mempertimbangkan usulan para ilmuwan untuk menguji bom secara terbuka atau hanya menargetkan fasilitas militer demi meminimalisir korban sipil.

Pada malam setelah pengeboman Hiroshima, Oppenheimer disambut sorak sorai para ilmuwan di Los Alamos. Ia bahkan sempat menyatakan bahwa satu-satunya penyesalannya adalah bom itu tidak selesai tepat waktu untuk digunakan melawan Jerman.

Namun, kegembiraan atas pencapaian ilmiah itu segera berubah menjadi keprihatinan mendalam. Banyak ilmuwan, termasuk Oppenheimer, mulai mempertanyakan dampak moral dan kemanusiaan dari senjata yang mereka ciptakan.

Penyesalan terbesar Oppenheimer bukan hanya karena ia menciptakan senjata yang sangat mematikan, tetapi juga karena senjata itu digunakan untuk menghancurkan kota yang penuh dengan warga sipil tak bersalah.

Ia merasa bahwa pencapaian ilmiah yang begitu luar biasa telah berubah menjadi alat penghancur yang membawa penderitaan masif. Rasa bersalah ini menghantuinya selama sisa hidupnya.

Beberapa minggu setelah serangan itu, Oppenheimer menulis surat kepada Menteri Perang. Ia menyatakan bahwa keselamatan suatu bangsa tidak bisa hanya bergantung pada kekuatan teknologinya, tetapi pada kemampuan untuk mencegah terjadinya perang di masa depan.

Tonton Juga :  Menelusuri Sejarah Kopi, Perjalanan Manis dari Ethiopia ke Seluruh Dunia

Meski demikian, Oppenheimer tetap membela Proyek Manhattan sebagai langkah yang perlu dilakukan untuk memahami potensi sains nuklir secara menyeluruh.

Namun setelah perang usai, ia menjadi salah satu tokoh vokal yang menentang pengembangan bom hidrogen, senjata nuklir yang jauh lebih dahsyat.

Ia mendorong agar penggunaan teknologi nuklir diarahkan untuk keperluan damai seperti pembangkit listrik, bukan untuk perlombaan senjata.

Sikap ini membuatnya tidak disukai kalangan tertentu di pemerintahan. Apalagi di tengah ketegangan politik era Perang Dingin yang penuh kecurigaan terhadap komunisme.

Pada tahun 1954, Komisi Energi Atom AS mencabut izin keamanannya, setelah sidang yang penuh tuduhan politis dan dugaan simpati terhadap komunisme.

Puluhan tahun kemudian, pada tahun 2022, keputusan itu dinyatakan cacat hukum dan secara resmi dibatalkan.

Oppenheimer tidak pernah lagi bekerja untuk pemerintah. Ia menghabiskan sisa hidupnya dengan mendirikan World Academy of Arts and Sciences serta memberi kuliah tentang sains dan etika.

Ia wafat pada tahun 1967, masih membawa beban moral atas warisan yang ia ciptakan.

Ia pernah berkata, “Dalam arti tertentu, yang tak bisa dipadamkan oleh kekasaran, lelucon, atau berlebihan apa pun, para fisikawan telah mengenal dosa. Dan ini adalah pengetahuan yang tidak akan pernah bisa mereka lupakan.” (LSA)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: