Historia

Halim Perdanakusuma; Pelopor Angkatan Udara yang Namanya Abadi

Halim Perdanakusuma | Foto: Arsip Nasional RI

JAKARTA | Priangan.com – Pecahnya perang dunia II membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan Halim Perdanakusuma. Jika saja peperangan itu tidak meletus, namanya mungkin tak akan setenar sekarang, bahkan diabadikan sebagai nama bandara internasional.

Halim, lahir di Sampang, pada 18 November 1922. Ia adalah putra dari pasangan H. Abdulgani Wongsotaruno dan R.A. Aisyah. Ayahnya, seorang birokrat sekaligus penulis yang dikenal dengan karya-karya berbahasa Madura. Sang ayah juga yang menanamkan kedisiplinan tinggi kepada Halim sejak masih berusia remaja.

Sebelum perang dunia II, Halim sempat belajar di sejumlah sekolah Belanda, seperti Hollandsche Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO). Namun, ketika melanjutkan studi ke sekolah birokrat Mideelbaar Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA), Nazi kala itu berhasil menginvasi sejumlah negara di Eropa. Belanda pun akhirnya jatuh ke tangan Jerman.

Melihat situasi geopolitik ini, Belanda kemudian memobilisasi milisi untuk melindungi wilayah kekuasaannya dari ancaman Jepang yang kala itu menjadi kekuatan militer besar di kawasan Asia Pasifik. Apalagi sejak perang dunia II meletus, Jepang mulai memperluas pengaruhnya dan mengancam koloni-koloni Eropa di Asia, termasuk Hindia Belanda.

Walhasil, Halim pun kala itu terpaksa ikut menjadi salah satu milisi. Ia bergabung dengan Angkatan Laut Belanda sebagai Opsir Terpedo di wilayah Surabaya. Sayang, dalam serangan 1942 yang dilakukan oleh Jepang, Belanda harus kalah. Mereka pun menyerah.

Pasca kejadian itu, Halim kemudian bergabung dengan Royal Canadian Air Force (RCAF) dan diberi mandat sebagai pilot navigasi. Ia tercatat pernah membantu Inggris dalam sejumlah misi, salah satunya adalah misi pengeboman di Jerman. Berkat kepiawaiannya dalam urusan navigasi, Halim pun kala itu mendapat julukan “The Black Maskot”.

Tonton Juga :  Wawacan Sajarah Sukapura

Pasca Indonesia meraih kemerdekaannya, Halim kemudian kembali ke tanah air. Ia diajak oleh para tokoh pendiri Angkatan Udara RI untuk bergabung dengan TKR Udara (sekarang TNI-AU). Bersama Adi Sucipto, Suryadarma, dan Abdulrahman Saleh, Halim kemudian membangun Angkatan Udara.

Sosok Halim Perdana Kusuma juga berperan penting dalam Agresi Militer I. Ia mengorganisir serangan balasan terhadap NICA pada 22 Juli 1947. Sayangnya, dalam serangan itu, Adi Sucipto, Abdulrahman Saleh, dan Adi Sumarmo tewas lantaran pesawatnya berhasil ditembak oleh pasukan NICA.

Setelah tragedi tersebut, Halim melanjutkan tugas sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Udara RI. Ia kemudian diperintahkan untuk melakukan penguatan kekuatan udara di wilayah Sumatra. Dengan mengumpulkan dana dan emas dari masyarakat lokal, Halim berhasil melakukan pengadaan pesawat AVRO Anson, yang sangat penting dalam menjaga jalur perdagangan dengan Singapura dan Thailand.

Kendati begitu, takdir tragis harus dihadapinya. Pada 14 Desember 1947, pesawat AVRO Anson yang ditumpanginya mengalami kecelakaan fatal di Pantai Tanjung Hantu, Semenanjung Malaya, akibat cuaca buruk. Halim kehilangan nyawanya dalam peristiwa tersebut.

Bangkai pesawat dan jasad Halim kemudian ditemukan di sebuah hutan dekat Kota Lumut, Malaysia, beberapa hari setelahnya. Sementara jasad Iswahyudi, pilot yang menemani Halim kala itu, sampai saat ini tidak ditemukan. Halim kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya yang tiada tara, pemerintah Indonesia  kemudian memberikan pangkat Laksamana Muda Udara (Anumerta) kepadanya. Pada 17 Agustus 1952, lapangan udara Cililitan juga diubah namanya menjadi Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. (ldy)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: