Oleh: Muhajir Salam
TASIKMALAYA | Priangan.com – Mulai jaman Batari Hyang, Galunggung mengalami perubahan bentuk, dari kebataraan menjadi kerajaan, yakni pada tahun 1013 Saka atau 1111 Masehi. Prasasti Geger Hanjuang, merupakan sumber otentik adanya Kerajaan Galunggung. Prasasti tersebut ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk area Gunung Galunggung. Di daerah tersebut, selain prasasti, dulu juga ditemukan banyak benda-benda peninggalan sejarah, seperti patung ganesha, tembikar (cepuk, pendil), batu lingga, serta benda-benda lainnya. Beberapa berhasil diselamatkan, tapi sebagian besar hanya ditemukan kepingan atau bagian-bagiannya yang hancur, baik oleh alam, maupun dihancurkan oleh orang-orang yang tak mengerti sejarah.
Prasasti Geger Hanjuang berukuran tinggi lebih kurang 80 cm, dan lebar lk. 60 cm, ditemukan oleh K.F. Holle, kemudian oleh Dr N.J. Krom disimpan di museum pusat Jakarta, tahun 1914. Inventaris No. D. 26. Prasasti ini pernah dibahas dan diteliti oleh K.F. Holle (1877), C.M. Pleyte (1911), dan Saleh Danasasmita dkk (1978).
Prasasti ini berisi tiga baris tulisan dalam hurup Sunda kuno. Dilihat dari bentuk hurupnya, para ahli sejarah menganggap hurup pada prasasti Geger Hanjuang lebih tua dari hurup yang terdapat pada Prasasti Kawali. Teksnya berbunyi:
Gambar. Tulisan naskah pada prasasti Gegerhanjuang pada tahun 1890
ra ba i guna apuy na
sta gomati sakakala ru mata k disusu(k) ku batari hyang pun.
(pada tahun) 1033 (Saka) (ibukota) Ruma(n)tak diperkuat (pertahanannya) oleh Batari Hyang.
Batari Hyang memperkuat benteng pertahanan di ibukota Kerajaan Galunggung, yaitu Rumantak, yang dilakukan pada tahun 1033 Saka atau 1111 Masehi. Memperkuat pertahanan tersebut dengan cara membuat parit (nyusuk atau marigi). Peristiwa nyusuk ini juga diberitakan dalam naskah Amanat Galunggung yang berbunyi: Rahyang nyusuk na Pakwan. Kemudian dalam prasasti Kawali disebutkan Prabu Raja Wastu marigi sakuriling dayeuh Kawali. Dalam prasasti Batutulis, disebutkan Sri Baduga Maharaja nyusuk na pakwan. Kalimat tersebut dalam naskah Nagara Kertabumi diartikan amagehing (memperkokoh) Pakwan.
Artinya, peristiwa nyusuk atau membuat perigi ini dilakukan oleh para penguasa kerajaan di tatar Sunda, untuk memperkuat pertahanan, sebagai tindakan preventif yang wajar dilakukan pada masa itu, terlepas dari ada atau tidaknya ancaman pada kerajaan. Membuat parit atau perigi dilakukan juga sebagai tanda adanya pemerintahan yang baru, setelah penobatan raja dilakukan. Bukan tidak mungkin, setiap raja melakukan hal yang sama, dan raja berikutnya yang baru dinobatkan membuat atau memperbaiki perigi yang sudah ada, karena perigi lama dianggap sudah tak memadai atau dangkal. Seperti halnya dilakukan oleh Sri Baduga pada tahun 1482. Pakuan yang sudah disusuk oleh Rakeyan Banga pada tahun 739, disusuk kembali oleh Sri Baduga, karena keadaan kota Pakuan sudah jauh lebih luas dari batas parit semula.
Melihat isi dari prasasti Geger Hanjuang, ada dua hal utama yang menjadi isi teks prasasti tersebut. Yakni, Rumantak sebagai ibukota kerajaan, serta Batari Hyang sebagai penguasanya. Sebelum Galunggung menjadi kerajaan pada masa Batari Hyang, bisa dipastikan bahwa Rumantak adalah juga pusat dari kabuyutan Galunggung. Di sanalah para batara atau rajaresi memimpin kabuyutannya, serta menerima tetamu agung dari kerajaan seperti Galuh. Bahkan bukan tidak mungkin, di Rumantak pulalah para rajaresi yang wafat diupacarakan.
Gambar. Situs Linggawangi, bukti kejayaan Kerajaan Batari Hyang pada Abad XII
Lalu, siapa Batari Hyang? Pada awal abad XI M, kerajaan Sunda di bawah kepemimpinan Sri Jayabupati adalah kerajaan yang sangat kuat. Sedangkan Galunggung pada saat itu dikuasi oleh Resi Guru Sudakarmawisesa. Beliau menikah dengan Dewi Citrawati, anak dari Resi Guru Batara Hyang Purnawijaya keturunan Sri Jayabupati. Setelah pernikahan tersebut, Sudakarmawisesa memilih untuk melakukan perjalanan spiritual dan mempercayakan tahta kepada Dewi Citrawati dengan gelar Batari Hyang Janapati.
Batari Hyang Janapati, tentu saja adalah seorang perempuan, dan dalam perjalanan sejarah masa lampau di tatar Sunda, dialah satu-satunya perempuan yang memimpin kerajaan dan namanya diabadikan pada sebuah prasasti. Hal ini menjadi sebuah catatan penting dari puncak pencapaian seorang perempuan di tengah hirarki kekuasaan yang berlangsung selama berabad-abad di tatar Sunda. ***