JAKARTA | Priangan.com – Pada awal abad ke-19, warga London digemparkan oleh kabar aneh, seorang wanita bangsawan disebut memiliki wajah seekor babi. Cerita itu menyebar luas dan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai kalangan.
Konon, wanita ini tinggal di kawasan elit kota dan menutup diri sepenuhnya dari dunia luar. Ia bepergian dengan kereta mewah yang jendelanya selalu tertutup tirai tebal. Beberapa saksi bersumpah pernah melihat sosok dengan moncong babi di balik tirai itu.
Desas-desus mencapai puncaknya pada musim panas tahun 1815, tak lama setelah Inggris merayakan kemenangan atas Napoleon di Waterloo. Di tengah pesta rakyat yang meriah, sebuah kereta elegan melaju perlahan. Kerumunan bersorak riang, hingga tiba-tiba seseorang mengaku melihat sesuatu yang ganjil dari dalam kereta, seorang wanita dengan wajah menyerupai babi. Kepanikan menyebar, dan kereta itu segera meninggalkan lokasi dengan terburu-buru.
Sejak saat itu, legenda wanita berwajah babi menjadi buah bibir. Media cetak mulai meliput kisah ini dengan penuh gairah. Surat kabar menerbitkan iklan pencarian pelayan untuk wanita misterius itu, dan kolom surat pembaca pun ramai dipenuhi spekulasi. Tak sedikit yang mengaku memiliki informasi tentang identitas sang wanita atau asal-usul wajah babinya.
Namun, cerita ini bukanlah hal baru. Kisah serupa telah beredar di Eropa sejak abad ke-17. Di Belanda, misalnya, ada cerita tentang seorang bayi perempuan yang lahir dengan wajah babi setelah sang ibu menolak memberi sedekah kepada seorang pengemis tua. Di Prancis dan Jerman, dongeng semacam itu juga muncul dalam berbagai bentuk.
Di Inggris, salah satu cerita paling terkenal adalah tentang Tannakin Skinker, seorang gadis dari keluarga kaya di Belanda yang lahir dengan wajah babi karena kutukan. Konon, hanya cinta sejati dalam pernikahan yang bisa memulihkannya. Kisah ini dicetak dalam bentuk pamflet murah dan tersebar luas di masyarakat.
Ada pula cerita tentang Griselda Steevens, seorang tokoh nyata dari Dublin yang mendirikan rumah sakit untuk orang miskin. Meski ia dikenal karena amalnya, rumor menyebutkan bahwa ia menyembunyikan diri karena memiliki wajah babi. Tak ada bukti yang menguatkan, namun gosip itu cukup kuat untuk mengaburkan jasa-jasanya.
Yang menarik, semua tokoh dalam cerita ini adalah perempuan. Tidak pernah ada versi legenda yang menyebut laki-laki berwajah babi.
Ini menunjukkan bagaimana tekanan sosial terhadap perempuan, khususnya dalam hal penampilan, jauh lebih kuat. Wajah yang dianggap ‘tidak sempurna’ bisa dijadikan alasan untuk dikucilkan atau diceritakan sebagai hasil dari kutukan moral.
Legenda ini pun merefleksikan ketakutan masyarakat terhadap ketidaksempurnaan fisik. Di masa ketika cacat atau kondisi medis tidak dipahami dengan baik, hal-hal seperti ini mudah dijadikan bahan cerita horor atau simbol kegagalan moral. Sosok perempuan kaya yang menolak tampil di depan umum menjadi lambang ketidaknormalan yang menakutkan.\
Media memperkuat stigma tersebut. Mereka menggambarkan wanita berwajah babi dengan ilustrasi yang sensasional, seperti sedang menyantap makanan dari palung atau mengenakan gaun mahal dengan kepala babi. Imajinasi publik dibentuk lewat citra-citra ini, menciptakan ketakutan sekaligus rasa ingin tahu yang tak terbendung.
Pada akhirnya, legenda wanita berwajah babi bukan hanya cerita aneh. Ia adalah simbol dari prasangka sosial, kecemasan terhadap ketidaksempurnaan, dan beban ekspektasi terhadap tubuh perempuan.
Meskipun tak pernah terbukti nyata, kisah ini tetap hidup dalam budaya populer sebagai cermin dari ketidakadilan dan obsesi masyarakat terhadap penampilan. (LSA)