JEPANG | Priangan.com – Di tengah kabut tebal pegunungan Owari, seorang anak muda dengan tatapan tajam berdiri di atas bukit, memandang jauh ke cakrawala. Sosoknya dikenal liar dan tak terduga, dengan perilaku yang sering dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya. Tapi, dalam kegilaannya, Oda Nobunaga menyimpan sebuah impian besar, menghentikan perang tanpa akhir yang telah memecah belah Jepang selama berabad-abad.
Nobunaga, yang lahir pada tahun 1534 di tengah kekacauan era Sengoku, tumbuh dengan semangat berbeda. Ketika pemimpin lainnya terperangkap dalam tradisi kuno dan pertempuran samurai, Nobunaga melihat sesuatu yang lebih besar—masa depan Jepang yang damai dan bersatu di bawah satu kekuasaan. Tapi untuk mencapai impian itu, ia harus menggunakan taktik yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, bahkan oleh musuh-musuhnya.
Oda Nobunaga bukan daimyo biasa. Sejak muda, ia dikenal sebagai “Si Pemuda Bodoh” karena perilakunya yang tidak konvensional—tapi jangan tertipu oleh julukan itu. Di balik sikapnya yang liar, tersembunyi pikiran jenius yang mampu membaca setiap langkah lawan sebelum mereka sendiri menyadarinya.
Pada tahun 1560, Oda Nobunaga menunjukkan kepada dunia siapa dirinya. Dalam Pertempuran Okehazama, dengan pasukan yang jumlahnya tak sebanding, ia berhasil mengalahkan Imagawa Yoshimoto, seorang daimyo yang jauh lebih kuat. Rahasianya? Taktik perang gerilya yang cerdas dan penguasaan terhadap medan pertempuran. Bagi banyak orang, ini adalah kemenangan keajaiban—tapi bagi Nobunaga, ini adalah bukti bahwa strategi dan inovasi bisa menghancurkan tradisi perang samurai yang kaku.
Salah satu kejeniusan Nobunaga adalah kemampuannya melihat peluang di luar kebiasaan. Ketika senjata api mulai diperkenalkan oleh pedagang Portugis, banyak pemimpin feodal lain yang meremehkannya. Tapi Nobunaga, dengan visinya yang tajam, justru melihat potensi besar dalam teknologi baru ini.
Pertempuran Nagashino pada tahun 1575 adalah contoh nyata dari inovasinya. Nobunaga memerintahkan ribuan prajuritnya untuk memegang senapan arquebus dan membuat formasi bertingkat yang revolusioner—membombardir musuh dengan peluru tanpa henti. Dalam pertempuran ini, pasukan berkuda Takeda yang legendaris hancur di bawah tembakan pasukan Nobunaga, mengukuhkan posisi Nobunaga sebagai inovator militer paling berpengaruh di Jepang.
Namun, impian Nobunaga bukan hanya menguasai wilayah secara fisik. Ia ingin mengubah struktur kekuasaan yang mengakar di Jepang, termasuk menantang kekuasaan para biksu Buddha yang telah lama memiliki kekuatan politik dan militer.
Dalam kampanye militernya, Nobunaga menyerang kuil-kuil besar yang memiliki pasukan pribadi, seperti Kuil Enryakuji di Gunung Hiei. Nobunaga tidak segan-segan membakar seluruh kompleks kuil hingga rata dengan tanah, sebuah tindakan yang membuatnya dijuluki “Raja Iblis.” Tapi bagi Nobunaga, ini adalah langkah penting untuk menciptakan negara yang bebas dari kekuatan religius yang menghambat persatuan nasional.
Namun, meski secerdas dan sekuat Nobunaga, takdir memiliki rencana lain. Pada tahun 1582, salah satu jenderalnya yang bernama Akechi Mitsuhide melakukan pengkhianatan besar. Dalam apa yang dikenal sebagai Insiden Honnō-ji, Mitsuhide menyerang Nobunaga saat sedang beristirahat di kuil Honnō-ji, Kyoto.
Dikepung tanpa jalan keluar, Nobunaga memilih mati dengan kehormatan, melakukan seppuku (bunuh diri ritual). Namun, kematiannya yang mendadak tidak memadamkan api perubahan yang telah ia nyalakan. Toyotomi Hideyoshi, penerusnya, melanjutkan upaya Nobunaga untuk menyatukan Jepang, dan akhirnya Tokugawa Ieyasu mengakhiri perang saudara dengan mendirikan Keshogunan Tokugawa.
Meski hidupnya berakhir dengan tragis, Oda Nobunaga tidak pernah benar-benar menghilang dari sejarah Jepang. Banyak yang menganggapnya sebagai pemimpin yang kejam dan tanpa belas kasihan, tetapi ada juga yang melihatnya sebagai visioner yang berani melawan norma dan tradisi.
Dunia modern mengingatnya sebagai sosok yang membuka jalan bagi Jepang menuju persatuan dan kedamaian. Ia adalah bukti nyata bahwa terkadang, untuk menciptakan masa depan yang baru, seseorang harus berani menghancurkan masa lalu yang sudah tidak relevan. Dengan segala kontroversi yang mengelilinginya, satu hal tetap pasti: tanpa Oda Nobunaga, Jepang mungkin tidak akan menjadi negara bersatu seperti yang kita kenal hari ini.
Dan mungkin, di tengah asap senjata yang mengisi udara di medan perang Nagashino, atau di tengah api yang membakar Gunung Hiei, Oda Nobunaga berdiri di atas kuda hitamnya, tersenyum tipis, menyadari bahwa ia telah menulis sejarah dengan caranya sendiri. (mth)