TOKYO | Priangan.com – Pada musim semi tahun 1942, dunia sedang dilanda Perang Dunia II. Kekuatan Poros semakin mendominasi, dan Jepang terus memperluas wilayahnya tanpa hambatan. Banyak yang percaya bahwa Kepulauan Jepang aman dari serangan.
Namun, keyakinan itu berubah pada 18 April 1942. Sebanyak 16 pesawat pengebom B-25B Mitchell lepas landas dari kapal induk USS Hornet dan menyerang Tokyo serta lima kota lainnya. Misi ini dikenal sebagai Serangan Doolittle. Tujuannya bukan untuk kehancuran besar, tetapi untuk mengguncang psikologis Jepang.
Dari segi militer, serangan ini tidak memberikan dampak besar. Namun, bagi rakyat Amerika, ini menjadi dorongan moral. Sebaliknya, Jepang terkejut karena wilayahnya bisa diserang.
Sebagai balasan, Jepang melancarkan Kampanye Zhejiang-Jiangxi. Mereka menghukum warga Tiongkok yang membantu para penerbang Amerika. Lebih dari 10.000 warga sipil tewas dalam waktu singkat. Jumlah korban meningkat hingga 250.000 dalam empat bulan berikutnya.
Jepang juga memperketat aturan terhadap penerbang Sekutu yang tertangkap. Pada Juli 1942, mereka mengeluarkan Perintah Rahasia Militer 2190. Isinya menyatakan bahwa awak pesawat musuh yang dianggap melanggar hukum perang akan dihukum berat.
Pada 13 Agustus 1942, Jenderal Shunroku Hata mengeluarkan Undang-Undang Penerbang Musuh. Aturan ini menyebutkan bahwa serangan terhadap warga sipil atau properti nonmiliter adalah kejahatan yang bisa dihukum mati.
Selain itu, aturan ini berlaku surut, termasuk untuk Serangan Doolittle.
Akibatnya, delapan penerbang Amerika yang tertangkap diadili dalam persidangan cepat. Lima orang dijatuhi hukuman seumur hidup. Sementara itu, tiga lainnya, Dean Hallmark, William Farrow, dan Harold Spatz dieksekusi pada 15 Oktober 1942. Pemerintah AS mengetahui eksekusi ini, tetapi merahasiakannya demi kepentingan perang.
Undang-Undang Penerbang Musuh kemudian digunakan untuk menghukum lebih banyak penerbang Sekutu. Antara 1944 dan 1945, setidaknya 132 penerbang Sekutu dihukum mati. Bahkan setelah Kaisar Hirohito mengumumkan rencana menyerah, 15 penerbang tetap dieksekusi di Fukuoka.
Eksekusi sering kali dilakukan dengan kejam. Para penerbang disiksa sebelum diadili dalam persidangan singkat dan dihukum mati. Di minggu-minggu terakhir perang, lebih dari 90 penerbang Amerika dieksekusi sebelum Jepang benar-benar menyerah.
Setelah perang, pengadilan kejahatan perang Sekutu menargetkan para pejabat Jepang yang bertanggung jawab atas perlakuan kejam terhadap penerbang Sekutu. Banyak perwira tinggi diadili dan dihukum. Salah satunya adalah Tsuchiya Tatsuo, seorang penjaga kamp penjara yang dihukum seumur hidup atas penyiksaan terhadap tahanan Amerika.
Letnan Jenderal Harukei Isayama dan tujuh bawahannya juga diadili. Mereka didakwa karena mengesahkan eksekusi terhadap 14 penerbang Amerika di Formosa. Beberapa dijatuhi hukuman mati, meskipun sebagian hukumannya kemudian diubah menjadi penjara seumur hidup.
Ironisnya, Jepang sendiri telah melakukan serangan udara besar terhadap kota-kota di Tiongkok sejak 1937. Serangan ini menewaskan puluhan ribu warga sipil. Dengan demikian, penerapan Undang-Undang Penerbang Musuh oleh Jepang menunjukkan standar ganda dalam perang.
Dalam Perang Dunia II, semua pihak terlibat dalam serangan terhadap warga sipil. Namun, perlakuan Jepang terhadap penerbang Sekutu merupakan pelanggaran serius terhadap hukum perang internasional. Kejahatan ini akhirnya diadili setelah perang berakhir, meskipun banyak korban tidak mendapatkan keadilan yang setimpal. (LSA)