JAKARTA | Priangan.com – Dalam dunia militer, kamuflase kerap digunakan sebagai upaya untuk mengecoh musuh, baik di darat, laut, maupun udara. Kapal-kapal perang umumnya dikamuflasekan dengan warna atau pola tertentu agar menyatu dengan permukaan laut atau langit. Namun, selama Perang Dunia II, sebuah kapal penyapu ranjau Belanda mengambil pendekatan yang sangat tidak lazim. Alih-alih meniru laut atau bebatuan, kapal ini justru menyamar sebagai sebuah pulau tropis demi menyelamatkan diri dari kejaran armada Jepang.
Sebagaimana dilansir dari Amusing Planet, kisah ini bermula pada tahun 1941 ketika Jepang memulai agresi militernya ke Asia Tenggara. Setelah menguasai Filipina, pasukan Jepang melanjutkan serangan mereka ke wilayah Hindia Belanda. Dalam waktu singkat, mereka merebut sejumlah pangkalan strategis di Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara. Pangkalan-pangkalan ini menjadi titik peluncuran operasi militer Jepang di kawasan, termasuk penyerbuan ke arah selatan melalui Selat Makassar dan Laut Maluku.
Pasukan Sekutu, yang terdiri dari Belanda, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, mencoba memberi perlawanan dengan kekuatan gabungan angkatan laut. Namun, banyak dari kapal-kapal yang mereka gunakan adalah peninggalan Perang Dunia I yang terlambat dan kalah dalam hal teknologi maupun jumlah.
Satu per satu, daerah penting Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Balikpapan, sebagian besar wilayah Kalimantan, dan Sulawesi berhasil dikuasai pada akhir Januari 1942. Selanjutnya, mereka mendarat di Sumatra pada Februari.
Puncak dari kekalahan ini terjadi dalam Pertempuran Laut Jawa pada 27 Februari 1942. Dalam konfrontasi tersebut, lima kapal Sekutu tenggelam dan ratusan pelaut tewas, sementara kerugian Jepang tergolong kecil. Pertempuran ini membuka jalan bagi invasi Jepang ke Pulau Jawa dan menjadi titik balik yang menandai berakhirnya kekuasaan Sekutu di kawasan Hindia Belanda.
Sisa kapal-kapal yang masih utuh diperintahkan mundur sejauh mungkin ke selatan, menuju Australia. Namun, patroli udara dan laut Jepang yang begitu ketat menjadikan pelarian tersebut nyaris mustahil.
Di tengah kekacauan itu, kapal penyapu ranjau HNLMS Abraham Crijnssen menghadapi situasi genting. Kapal ini berukuran kecil, tidak cepat, dan tidak diperlengkapi untuk pertempuran atau pelarian jarak jauh. Mengandalkan kecepatan maupun kekuatan tembak bukanlah pilihan. Menyadari bahwa bertahan hidup hanya bisa dicapai dengan kecerdikan, para awak kapal memilih taktik luar biasa dengan menyamar sebagai pulau.
Dengan memanfaatkan ranting pohon, semak belukar, dan jaring kamuflase, mereka menutupi seluruh badan kapal dan menyusunnya sedemikian rupa agar tampak seperti daratan kecil yang diselimuti vegetasi tropis. Geladak dicat menyerupai garis pantai dan air laut, sementara bagian yang terbuka ditutupi warna abu-abu agar terlihat seperti batu atau bayangan alam.
Untuk menyempurnakan penyamaran, Abraham Crijnssen hanya berlayar saat malam hari. Ketika fajar tiba, kapal akan berlabuh dekat pulau sungguhan dan tetap diam agar tidak menarik perhatian dari udara.
Strategi unik ini berhasil melampaui ekspektasi. Meski dikelilingi wilayah yang sepenuhnya dikuasai Jepang, kapal tersebut mampu menghindari deteksi. Melawan segala rintangan, Abraham Crijnssen berhasil menempuh perjalanan berbahaya ke selatan dan mencapai pelabuhan Fremantle, Australia, dengan selamat pada awal Maret 1942. Ia menjadi kapal terakhir yang lolos dari Jawa dan satu-satunya kapal penyapu ranjau Belanda di wilayah tersebut yang berhasil bertahan.
Kisah pelarian HNLMS Abraham Crijnssen tetap dikenang sebagai salah satu aksi penipuan paling menakjubkan dalam sejarah perang laut. Ini menunjukkan bahwa dalam situasi paling genting, akal dan keberanian dapat menjadi senjata paling ampuh melebihi peluru atau baja. Di tengah kepungan kekuatan besar, sebuah kapal kecil yang menyamar sebagai pulau menjadi simbol kecerdikan yang abadi dalam sejarah Perang Dunia II. (LSA)