WASHINGTON D.C | Priangan.com – Peristiwa berdarah yang mengguncang kota Wilmington, North Carolina, pada 10 November 1898 menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah politik Amerika Serikat. Hari itu, sekelompok warga kulit putih bersenjata menggulingkan pemerintahan kota yang sah, memicu kekerasan rasial yang menelan banyak korban dan meninggalkan luka panjang bagi sistem demokrasi negara tersebut.
Pemerintah Wilmington ketika itu merupakan hasil pemilihan umum yang sah, di mana koalisi Partai Republik dan Partai Populis berhasil membentuk pemerintahan bersama warga kulit hitam yang telah memperoleh hak politik pasca-Rekonstruksi. Keberhasilan itu memunculkan kecemburuan dan kemarahan di kalangan kelompok supremasi kulit putih yang berafiliasi dengan Partai Demokrat. Mereka menuduh pemerintah kota sebagai ancaman bagi tatanan sosial dan rasial yang mereka anggap harus dipertahankan.
Kampanye kebencian yang dilakukan oleh kelompok supremasi tersebut semakin memperuncing ketegangan. Puncaknya terjadi saat ribuan orang bersenjata mengepung Wilmington dan menyerang berbagai titik penting di kota. Kantor surat kabar milik warga kulit hitam, The Daily Record, dibakar karena dianggap menyebarkan tulisan yang menyinggung isu rasial. Aksi kekerasan itu meluas hingga ke permukiman warga kulit hitam, disertai dengan penembakan dan pembunuhan terhadap puluhan orang.
Pemerintah kota yang dipimpin oleh koalisi Republik dipaksa mundur setelah serangan itu. Kelompok bersenjata kemudian menunjuk tokoh-tokoh Partai Demokrat sebagai penguasa baru. Peralihan kekuasaan secara paksa ini menandai berakhirnya peran politik warga kulit hitam di Wilmington, sekaligus menghancurkan keseimbangan sosial yang sebelumnya terbentuk. Banyak keluarga kulit hitam terpaksa meninggalkan kota karena takut menjadi korban kekerasan lanjutan.
Dampak kudeta tersebut tidak berhenti di Wilmington. Setelah kejadian itu, pemerintah North Carolina menerapkan aturan yang membatasi hak pilih bagi warga Afrika-Amerika. Langkah tersebut menjadi awal dari sistem segregasi rasial yang dikenal dengan sebutan hukum Jim Crow, yang bertahan selama beberapa dekade di berbagai negara bagian Selatan.
Baru setelah lebih dari seratus tahun berlalu, pemerintah negara bagian North Carolina secara terbuka mengakui peristiwa ini sebagai tragedi nasional. (wrd)

















