JAKARTA | Priangan.com – Ini adalah Sutomo, salah satu pahlawan nasional yang paling ikonik. Potretnya bisa dengan mudah ditemukan. Itu karena foto Sutomo banyak digunakan sebagai sampul buku pelajaran atau buku lain yang berkaitan dengan sejarah kepahlawanan.
Lahir di Surabaya, pada 3 Oktober 1920, pria yang akrab disapa Bung Tomo ini tersohor bukan karena kemampuan militernya, ia justru dikenal lewat orasinya yang mampu membakar semangat para pejuang. Orator ulung, begitu kira-kira. Acap kali berorasi, Bung Tomo selalu berapi-api. Itu berhasil membuat rasa nasionalisme masyarakat pribumi tergugah.
Yang paling monumental adalah pertempuran 10 November 1945. Kala itu, pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Surabaya masih dalam kondisi mencekam. Setelah Jepang menyerah pada Sekutu, pasukan Inggris yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) datang ke Surabaya. Mereka ternyata tak sendiri, tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pun turut mendampingi.
Misi utama kedatangan para prajurit Sekutu ini awalnya hanya untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negara asalnya. Namun, di balik misi utama itu, mereka ternyata punya itikad buruk; ingin mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Niatan itu tercium ketika Belanda kembali mengibarkan benderanya di tanah air pada tanggal 18 September 1945. Hal ini tentu saja membuat bangsa Indonesia geram. Sebagai bentuk perlawanan, para pejuang kala itu merobek bendera tersebut hingga menyisakan warna merah dan putih saja.
Pasca insiden perobekan itu, suasana di Surabaya pun semakin memanas. Apalagi ketika salah satu pimpinan tentara Inggris, Brigjen Mallaby, tewas tertembak oleh pejuang. Peperangan pun semakin berkecamuk. Sampai pada tanggal 10 November 1945, Inggris mengultimatum Indonesia agar menyerahkan senjata mereka, namun, itu tak digubris, mereka tetap menjawabnya dengan perlawanan.
Di tengah situasi yang membara itu, ada satu suara yang terus menggema. Pekikan takbir serta Orasi-orasinya yang penuh dengan retorika, membangkitkan semangat juang para pejuang untuk menaklukan medan pertempuran.
Siapa lagi kalau bukan Bung Tomo. Perannya dalam peperangan ini sangatlah ikonik. Berbagai orasinya yang disebarkan lewat Radio Pemberontakan seolah menjadi heroin yang menyebabkan kegilaan untuk memenangkan pertempuran dan memukul mundur pasukan sekutu.
“Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara,
lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!”
Begitulah penggalan orasi Bung Tomo yang membuat semangat nasionalisme para pejuang kala itu menyala-nyala. Rasa takut mereka hilang seketika. Di benaknya, hanya ada satu; Merdeka!
Setelah pertempuran, Bung Tomo melanjutkan karirnya di politik dan pemerintahan. Ia lalu menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran dan Menteri Sosial pada tahun 1950-1956. Di sisi lain, Bung Tomo juga didapuk sebagai salah satu anggota Konstituante dari Partai Rakyat Indonesia. (ldy)