Simbol dalam Sejarah Tahta Suci Gereja: Sepatu Merah dan Spiritualitas

VATIKAN | Priangan.com – Ketika Joseph Ratzinger terpilih sebagai Paus dan mengambil nama Benediktus XVI pada 19 April 2005, ia menunjukkan tekad untuk melanjutkan warisan para pendahulunya. Salah satu langkah simbolis yang diambilnya adalah menghidupkan kembali elemen busana kepausan tradisional yang telah lama ditinggalkan.

Sepatu merah, salah satu simbol paling mencolok dari tradisi itu, kembali dikenakannya dengan penuh makna.

Sekilas, sepatu merah mungkin tampak seperti pilihan mode atau selera pribadi. Namun sebenarnya, alas kaki ini menyimpan nilai sejarah dan makna spiritual yang dalam. Ia bukan sekadar aksesori, melainkan bagian dari warisan dan identitas gereja Katolik selama berabad-abad.

Paus Benediktus XVI tidak menciptakan tradisi ini, tapi memilih untuk menghormatinya. Ia memakai versi yang sederhana dan modern, tapi tetap menjaga esensinya.

Sepatu-sepatu kepausan ini dibuat dari bahan seperti kulit maroko, beludru, atau sutra, tergantung pada musim dan kesempatan. Warna merahnya berasal dari pewarna alami yang dulu sangat langka dan mahal. Di masa lampau, warna ini juga digunakan oleh pejabat tinggi Kekaisaran Romawi.

Salib emas pada sepatu itu dulunya bahkan diciumi umat sebagai bentuk penghormatan terhadap pemimpin rohani mereka.

Dalam keyakinan Katolik, warna merah dianggap sebagai lambang pengorbanan, keberanian, dan kasih yang mendalam. Warna ini mengingatkan pada tokoh-tokoh yang rela berkorban demi iman mereka, juga pada penderitaan Kristus.

Artinya, sang paus dipandang sebagai seseorang yang siap menanggung beban spiritual demi kebaikan umat.

Paus biasanya mengganti sepatu setiap Sabtu malam dan menjelang hari raya besar. Sepatu ini juga dikenakan dalam upacara penting seperti misa besar, audiensi resmi, dan pertemuan dengan para kardinal.

Paus Pius IX tetap melanjutkan tradisi ini meski merasa tidak nyaman karena harus sering berganti sepatu. Baginya, ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi bagian dari penghormatan terhadap ritus dan makna rohani.

Lihat Juga :  Dari Kisah Aneh yang Diragukan, Julukan 'Penggantung Monyet' Jadi Identitas Kota

Namun, tradisi itu berubah ketika Jorge Mario Bergoglio terpilih sebagai Paus Fransiskus pada 2013. Dalam pertemuan perdananya dengan media, ia menyatakan keinginan agar gereja menjadi “gereja yang miskin dan untuk orang miskin.”

Ucapan ini bukan basa-basi. Sejak awal kepemimpinannya, ia menunjukkan gaya hidup yang bersahaja dan menjauh dari kemewahan.

Malam pemilihannya menjadi momen simbolik. Ia menolak mozzetta beludru merah, salib emas, dan sepatu merah. Sebagai gantinya, ia tetap memakai salib perak dan sepatu hitam lamanya. Keputusan ini mengejutkan banyak orang, termasuk para kardinal.

Sejak dulu, ia memang dikenal sederhana. Saat menjadi kardinal di Argentina, ia tidak membeli jubah baru, melainkan mengubah milik pendahulunya agar pas dipakai. Ia juga enggan menonjolkan lambang kepangkatannya.

Lihat Juga :  Dari Kisah Aneh yang Diragukan, Julukan 'Penggantung Monyet' Jadi Identitas Kota

Setelah menjadi paus, ia menolak tinggal di Istana Apostolik dan memilih tinggal di Casa Santa Marta, tempat yang lebih sederhana. Di sana, ia hanya menempati tiga ruangan kecil: ruang tamu, ruang belajar, dan kamar tidur.

Kesederhanaannya juga terlihat dari pilihan kendaraan. Ia menolak mobil mewah dan lebih memilih mobil kecil untuk aktivitas sehari-hari, bahkan saat kunjungan luar negeri.

Ketika datang ke Indonesia pada 2014, ia tetap memakai mobil kecil tanpa pengawalan mencolok.

Ia secara terbuka mengecam para rohaniwan yang bergaya hidup mewah. Baginya, hal itu adalah penghinaan terhadap kaum miskin. Bahkan, ia menjual mobil mewah yang dulu ia gunakan dan mencarikan pekerjaan lain bagi sopirnya.

Keputusan lainnya adalah membuka kediaman musim panas Castel Gandolfo untuk umum. Tempat ini sebelumnya hanya digunakan para paus sebagai tempat peristirahatan. Namun Paus Fransiskus tidak pernah menginap di sana, dan malah mengubahnya menjadi museum.

Lihat Juga :  Cospaia, Negara Sekecil Desa yang Lupa Dimiliki Siapapun

Melalui berbagai tindakan ini, ia mengajak para pemimpin gereja untuk hidup lebih sederhana dan berfokus pada pelayanan. Ia percaya bahwa kekayaan gereja seharusnya digunakan untuk membantu sesama, bukan untuk memperlihatkan kekuasaan.

Ia memperkuat mandat lembaga pemberi sedekah kepausan, serta mendorong ordo-ordo religius untuk menggunakan harta milik mereka demi kepentingan masyarakat luas.

Dengan menolak sepatu merah dan simbol kemewahan lain, Paus Fransiskus tidak menolak tradisi begitu saja. Ia ingin menghidupkan kembali nilai-nilai injili yang mengutamakan kasih, pelayanan, dan kerendahan hati.

Kini, setelah wafatnya Paus Fransiskus pada Senin, 21 April 2025, dunia mengenang dirinya sebagai sosok pemimpin yang merakyat dan bersahaja. Sepatu hitam yang terus dipakainya menjadi simbol gaya kepemimpinan baru dalam gereja Katolik.

Ia meninggalkan warisan moral yang kuat tentang pentingnya hidup sederhana dan membantu sesama. Warisan ini kini menjadi tantangan bagi para pemimpin gereja berikutnya. Apakah mereka akan mengikuti jejaknya atau kembali ke gaya yang lebih tradisional?

Apa pun jalannya nanti, Paus Fransiskus akan dikenang sebagai paus yang berjalan dengan sepatu hitam dan hati yang merah, penuh kasih, sederhana, dan berani untuk berubah demi sesama. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos