HARTLEPOOL | Priangan.com – Di pesisir timur laut Inggris, tepatnya di kota Hartlepool, hidup sebuah legenda aneh yang sulit dipercaya namun tetap bertahan dalam ingatan warganya. Kisah ini berakar dari era Perang Napoleon, masa penuh kecemasan akan invasi Prancis dan kecurigaan terhadap apa pun yang asing.
Pada suatu malam badai, sebuah kapal Prancis karam di lepas pantai Hartlepool. Penduduk setempat yang kala itu belum pernah melihat orang Prancis, apalagi monyet, menemukan satu-satunya korban selamat.
Korban itu adalah seekor monyet kecil berbaju seragam militer. Monyet itu diyakini sebagai maskot kapal, mungkin ditugaskan untuk menghibur para pelaut.
Namun, imajinasi warga Hartlepool melampaui logika. Karena pengaruh kartun Inggris saat itu yang menggambarkan orang Prancis sebagai makhluk seperti monyet, penduduk mengira makhluk itu adalah mata-mata musuh. Mereka menahan sang monyet dan membawanya ke alun-alun kota.
Dalam interogasi yang ganjil, mereka melontarkan berbagai pertanyaan, seperti “Di mana Napoleon? Apakah Prancis akan menyerang?”. Tentu saja, monyet itu hanya membalas dengan celotehan yang dianggap sebagai bahasa Prancis. Ketidakmampuannya berbicara bahasa Inggris malah memperkuat kecurigaan mereka.
Setelah proses interogasi yang sia-sia, warga mengadakan pengadilan darurat dan menjatuhkan vonis bersalah. Mereka mendirikan tiang gantungan secara tergesa-gesa dan menggantung sang monyet di tengah kota.
Itulah kisah yang membuat Hartlepool dikenal sebagai kota ‘Penggantung Monyet’.
Namun, kebenaran dari peristiwa ini pernah terjadi masih menjadi sebuah teka-teki yang belum terjawab.
Beberapa orang percaya bahwa yang digantung bukan monyet, melainkan seorang anak laki-laki berusia sekitar 12 hingga 14 tahun. Anak seusia itu lazim dipekerjakan di kapal perang sebagai pembawa bubuk mesiu, dan dijuluki ‘monyet bubuk’.
Bisa jadi, anak malang dari kapal karam itulah yang dihukum karena disangka mata-mata Prancis.
Kisah ini pertama kali dikenal luas pada tahun 1855, saat penghibur era Victoria bernama Ned Corvan menulis dan menyanyikan lagu tentang monyet Hartlepool. Lagu itu ditampilkan di hadapan warga kota, dan sejak saat itu, kisahnya menyebar luas.
Meski minim bukti sejarah, banyak orang tetap mempercayainya. Stuart Drummond, mantan wali kota Hartlepool yang menjabat tiga kali, berkata, “Ini cerita yang terlalu aneh untuk dibuat-buat, jadi pasti ada unsur kebenarannya.”
Namun, sejarawan seperti Keith Gregson berpendapat sebaliknya. Ia menyatakan tidak ada bukti konkret bahwa warga Hartlepool benar-benar menggantung seekor monyet.
Tidak ada catatan resmi tentang peristiwa itu, dan dalam daftar 38.000 bangkai kapal oleh Historic England, hanya 14 kapal yang tenggelam di Teluk Hartlepool selama masa Perang Napoleon dan semuanya kapal Inggris, bukan Prancis.
Pada 2005, sempat muncul harapan ketika sebuah tulang ditemukan di pantai. Namun setelah diperiksa, tulang itu ternyata milik rusa prasejarah, bukan monyet.
Cerita tentang monyet yang digantung tidak hanya muncul di Hartlepool. Di Boddam, Aberdeenshire, pada tahun 1772, penduduk desa digambarkan menggantung seekor monyet, satu-satunya yang selamat dari kapal karam supaya dapat mengklaim hak atas barang-barang kapal.
Di Cornwall dan Chalvey juga terdapat kisah serupa, di mana monyet dibunuh karena alasan yang tak kalah ganjil.
Meski kebenarannya diragukan, kisah ini telah menjadi bagian penting dari identitas Hartlepool. Dulu diejek, kini warga kota justru bangga dengan julukan penggantung monyet itu. Klub sepak bola Hartlepool United bahkan mengadopsi seekor monyet sebagai maskot bernama H’Angus the Monkey.
Menariknya, Stuart Drummond, orang yang mengenakan kostum H’Angus, terpilih sebagai wali kota Hartlepool sebanyak tiga kali. Legenda ini juga menginspirasi buku, lagu, novel grafis, film dokumenter, hingga pertunjukan panggung.
Bagi banyak orang di Hartlepool, cerita ini bukan soal kebenaran sejarah, tetapi soal identitas. Drummond menyimpulkan, “Kalau kita menutupi atau mempermalukannya, itu berarti kita tidak memahami nilai dari kisah ini. Saya senang memilih untuk mempercayainya.”
Namun, seperti kata Gregson sebelumnya, bahwa kita takkan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kadang, jawaban yang paling jujur adalah kita tidak tahu, dan mungkin memang tidak akan pernah tahu. (LSA)