JAKARTA | Priangan.com – Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan salah satu hal yang paling ditunggu-tunggu dan menjadi tradisi acapkali Lebaran tiba. Biasanya, para pekerja di Indonesia menerima tunjangan ini sebagai bentuk apresiasi menjelang hari raya. Namun, tidak banyak yang mengetahui siapa sosok di balik lahirnya kebijakan THR yang kini menjadi bagian penting dari budaya kerja di Indonesia.

Sosok yang pertama kali mencetuskan gagasan tentang THR adalah Soekiman Wirjosandjojo. Lahir di Surakarta pada 19 Juni 1898, ia dikenal sebagai seorang politikus dan dokter yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-6 dalam kurun waktu 27 April 1951 hingga 3 April 1952. Di masa kepemimpinannya, kebijakan pemberian tunjangan bagi pegawai pemerintah mulai diterapkan dan terus berkembang hingga sekarang.
Sebelum aktif di dunia politik, Soekiman menempuh pendidikan di STOVIA di Batavia, kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Amsterdam di Belanda dengan fokus pada bidang kedokteran, khususnya spesialisasi penyakit dalam. Setelah kembali ke tanah air, ia menjalani profesi sebagai dokter sekaligus aktif dalam berbagai organisasi, seperti Sarekat Islam dan Majelis Islam A’la Indonesia.
Selain dikenal dalam dunia kesehatan, Soekiman juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat dalam organisasi Pusat Tenaga Rakyat (PTR) dan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Karier politiknya semakin bersinar saat bergabung dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang didirikan pada tahun 1943. Setelah kongres perdana partai pada 1945, ia sempat menjabat sebagai Ketua Umum sebelum akhirnya posisi tersebut dipegang oleh Mohammad Natsir.
Saat menjadi Perdana Menteri, Soekiman menerapkan kebijakan-kebijakan yang berdampak besar, salah satunya adalah sistem tunjangan hari raya bagi pegawai pemerintah. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para pegawai menjelang hari raya. Seiring berjalannya waktu, konsep ini diadaptasi oleh berbagai sektor dan menjadi hak bagi pekerja di Indonesia.
Dalam bidang diplomasi, ia berupaya memperkuat hubungan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, meskipun kebijakan ini memicu dinamika politik yang cukup kompleks di dalam negeri. Kondisi politik yang bergejolak membuat kabinet yang ia pimpin mengalami berbagai tantangan hingga akhirnya jatuh setelah adanya perundingan antara Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat, Merle Cochran.
Soekiman tercatat meninggal dunia pada 23 Juli 1974 di Yogyakarta dan dimakamkan di Makam Taman Siswa Yogyakarta sesuai dengan keinginannya untuk beristirahat di dekat makam Ki Hadjar Dewantara. Warisannya dalam dunia politik dan kebijakan ekonomi tetap dikenang, terutama dalam bentuk THR yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Lebaran di Indonesia. (Ersuwa)