JAKARTA | Priangan.com – September, 1965, Indonesia menghadapi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarahnya. Tragedi Gerakan 30 September (G30S/PKI) menorehkan luka mendalam bagi bangsa. Tujuh perwira tinggi TNI menjadi korban pembantaian keji. Salah satu tokoh sentral di balik peristiwa itu adalah Letnan Kolonel (Letkol) Untung Syamsuri. Ia berperan sebagai komandan utama dalam eksekusi berdarah ini.
Letkol Untung lahir dengan nama Kusman. Ia berasal dari keluarga Muslim dengan latar belakang ekonomi yang serba kekurangan. Meski begitu, Untung tetap bersekolah. Ia menimba ilmu di Sekolah Rakyat. Sejak kecil, Untung punya bakat luar biasa di bidang olahraga, terutama sepak bola. Ia bahkan pernah ditunjuk sebagai kapten acapkali berlaga di lapangan bola.
Di usia 18 tahun, Untung bergabung dengan pasukan Heiho yang dibentuk oleh Jepang selama Perang Dunia II. Ini menandai awal kariernya di militer. Karier tersebut terus berkembang pesat hingga Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Kala itu, Untung menjadi salah satu lulusan terbaik di Akademi Militer (AKMIL), Semarang. Berbagai penugasan penting pun ia jalankan dengan baik. Salah satunya adalah Operasi Trikora. Sebuah operasi mliliter yang dilkaukan oleh Indonesia untuk merebut wilayah Irian Barat dari tangan Belanda.
Pada tahun 1962, atas jasa-jasanya di bidang militer, ia pun mendapat kenaikan pangkat. Semula Mayor, dinaikan jadi Letnan Kolonel. Untung juga kala itu dipercaya untuk menjadi komandan dalam pasukan pengamanan Presiden Soekarno, Resimen Cakrabirawa.
Kendati demikian, karier militernya yang cemerlang itu berubah drastis pada malam 30 September 1965. Sang bintang harus jatuh seketika dalam malam yang kelam dan penuh darah. Di tengah memanasnya isu kudeta militer terhadap Presiden Soekarno, Letkol Untung kala itu malah membagi pasukannya menjadi tiga dan memerintahkan mereka semua untuk menjalankan Gerakan 30 September. Pasukan Bimasakti dipimpin oleh Kapten Suradi, pasukan Pringgodani oleh Mayor Soejono, sementara Pasukan Pasopati dipimpin oleh Kolonel Latief.
Dalam melancarkan aksinya, mereka menculik tujuh perwira tinggi TNI yang diduga terlibat dalam upaya kudeta. Mereka adalah Jenderal A.H. Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
Namun, Jenderal A.H Nasution kala itu berhasil lolos. Pasukan Cakrabirawa yang tidak mengenal persis A.H Nasution, justru malah membawa ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean. Tercatat, dalam operasi ini, tiga jenderal dibunuh di kediaman mereka, sementara sisanya, dibawa ke kawasan Lubang Buaya untuk diinterogasi sebelum akhitnya dieksekusi mati dan mayatnya dimasukan ke dalam sebuah sumur bekas.
Pasca berhasil melancarkan aksi tersebut, Letkol Untung bersama pasukannya kala itu mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi yang diklaim sebagai pelindung Soekarno. Pengumuman itu dilakukan lewat siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Kendati begitu, pernyataan Untung tersebut ditentang oleh Panglima TNI. Mereka tidak setuju dengan Gerakan 30 September, di saat yang bersamaan, Letkol Untung pun resmi jadi buronan militer.
Ia berhasil ditangkap pada 11 Oktober 1965 di tengah upayanya untuk melarikan diri ke Kota Tegal, Jawa Tengah. Pasca penangkapan itu, ia kemudian resmi dipecat secara tidak hormat dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar biasa. (ldy)