BANDUNG | Priangan.com – Lonjakan perceraian, ledakan pinjol dan judol, serta keretakan rumah tangga menjadi fenomena yang tak bisa lagi dianggap biasa di Jawa Barat. Di tengah kondisi ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memilih tidak tinggal diam. Mereka memulai dari akar persoalan: membekali pasangan sebelum masuk ke gerbang pernikahan.
Sekolah pranikah hadir sebagai jawaban. Melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB), pemerintah menggandeng lintas sektor untuk memperkuat ketahanan keluarga sejak dini. Dalam tahap awal, program ini diawali dengan pelatihan berskala besar berupa Training of Trainers (ToT) yang diikuti 1.500 peserta secara virtual, 10–11 Juli 2025.
“Kita bicara tentang 50 juta lebih penduduk di Jawa Barat, ini bukan angka kecil. Tapi di balik jumlah itu, ada masalah besar yang terus membayangi keluarga-keluarga kita. Perceraian tinggi, KDRT meningkat, dan banyak disebabkan oleh hal-hal yang sebetulnya bisa dicegah sejak awal,” ungkap Kepala DP3AKB Jawa Barat, Siska Gerfianti.
Siska membeberkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Barat mencatat 88.837 kasus perceraian sepanjang 2024—tertinggi se-Indonesia. Konflik berkepanjangan menjadi pemicu utama (lebih dari 51 ribu kasus), disusul tekanan ekonomi dan pasangan yang meninggalkan rumah.
“Dan jangan lupa, perceraian ini bukan hanya soal dua orang yang berpisah. Ada anak-anak yang terdampak. Ada generasi yang tercederai,” ucap Siska.
Masalah ekonomi keluarga, menurutnya, tak bisa dilepaskan dari fenomena pinjaman online (pinjol) dan judi daring (judol) yang menjamur. Data dari PPATK dan OJK menyebutkan Jawa Barat sebagai wilayah dengan angka transaksi pinjol dan judol tertinggi. Hal ini berkontribusi besar terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, Jabar menjadi provinsi kedua tertinggi secara nasional dalam kasus perceraian akibat KDRT.
Di tengah berbagai persoalan itu, pasangan usia subur juga menghadapi tantangan baru seperti rendahnya literasi kesehatan reproduksi, pernikahan dini, hingga minimnya kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan perencanaan keluarga.
Berangkat dari masalah tersebut, DP3AKB Jawa Barat menggagas modul Sekolah Pranikah dengan dukungan Dinas Kesehatan, Kemenag, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Balarea, serta BKKBN. Modul ini telah diujicobakan di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cirebon, sebagai langkah awal menuju skala lebih besar.
“Sekolah pranikah ini bukan kelas biasa. Ini ruang pembekalan. Supaya calon pasangan bukan hanya siap menikah, tapi juga siap hidup bersama dengan pemahaman akan tantangan nyata yang akan mereka hadapi,” jelas Siska.
Ia menekankan, pelatihan ToT ini menyasar para fasilitator bimbingan perkawinan, petugas lapangan, dan penyuluh—mereka yang menjadi ujung tombak di masyarakat. Diharapkan, para trainer ini bisa menyebarluaskan semangat dan ilmu dari sekolah pranikah ke seluruh penjuru daerah.
“Perubahan besar dimulai dari obrolan kecil. Dari kelas kecil. Sekolah pranikah ini adalah cara kita memutus mata rantai masalah keluarga sejak dari hulu,” pungkas Siska. (yna)