BELANDA | Priangan.com – Di masa kolonial, Inggris dan Prancis berhasil menyebarkan bahasa mereka ke seluruh penjuru dunia, menciptakan pengaruh budaya yang terus bertahan. Namun, Belanda menghadapi nasib yang berbeda di Hindia Belanda. Alih-alih menjadi lingua franca, bahasa Belanda justru terpinggirkan, kalah oleh bahasa lokal, terutama bahasa Melayu.
Pada awal abad ke-20, hanya segelintir pribumi di Hindia Belanda yang mampu memahami bahasa Belanda. Ronald Frisart, sejarawan yang menyoroti hubungan kolonial, menggambarkan situasi ini sebagai keengganan Belanda untuk memajukan bahasa mereka di jajahan. Sebagian besar penduduk pribumi tidak memahami satu kata pun dalam bahasa Belanda, suatu ironi dalam kekuasaan kolonial.
Ketika Volksraad—Dewan Rakyat Hindia—dibentuk pada 18 Mei 1918, bahasa kembali menjadi isu krusial. Volksraad sendiri sebenarnya bukanlah badan legislatif yang sesungguhnya, ia hanya diberi wewenang sebagai badan penasehat tanpa hak mengambil keputusan. Namun, Volksraad memberikan ruang baru bagi perwakilan pribumi untuk memperjuangkan suara mereka, meski dibatasi.
Ketetapan Kerajaan Belanda No. 71 tahun 1917 menegaskan bahwa hanya bahasa Belanda yang boleh digunakan dalam sidang Volksraad. Ketetapan ini langsung memicu pertentangan sengit di antara para anggota Volksraad. Pada sidang pertama, Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat dan Van Hinloopen Labberton menjadi suara utama yang menyerukan perubahan.
Djajadiningrat mengusulkan agar bahasa Melayu, bahasa yang telah umum di kalangan pribumi dan sebagian besar anggota non-pribumi, dapat digunakan dalam sidang. Van Hinloopen Labberton, bahkan lebih radikal, mendesak agar semua bahasa daerah Hindia dapat dipakai dalam Volksraad, karena menurutnya bahasa Belanda hanya dipahami segelintir orang. Namun, pandangan Labberton ditentang oleh beberapa anggota Belanda yang menganggap bahasa Belanda sebagai simbol peradaban yang harus dipertahankan.
Di sisi lain, tokoh pribumi Abdul Rivai mendukung penuh usulan Djajadiningrat. Rivai menegaskan bahwa jika bahasa Melayu tidak diperbolehkan, ia akan mengundurkan diri dari Volksraad sebagai bentuk protes. Baginya, penggunaan bahasa Melayu bukan sekadar alat komunikasi, melainkan simbol identitas dan kedaulatan pribumi yang tidak boleh diabaikan.
Suara-suara keberatan muncul dari kalangan konservatif Belanda di Volksraad. Pieter Bergmeijer, anggota anti-revolusioner, khawatir bahwa bahasa Melayu bisa dimanfaatkan sebagai alat politik oleh kelompok radikal seperti Insulinde—kelanjutan dari organisasi pergerakan Indische Partij yang pernah dibubarkan Belanda karena dianggap berbahaya. Menurut Bergmeijer, bahasa Melayu akan membuka ruang propaganda bagi para aktivis pribumi untuk memperjuangkan kemerdekaan dari kolonial.
Sementara itu, Jozef Emanuel (Jo) Stokvis, seorang tokoh sosial demokrat, menyetujui usulan Djajadiningrat namun dengan catatan. Ia khawatir bahwa penguasaan bahasa Melayu yang terbatas di kalangan anggota Belanda, yang belajar bahasa ini hanya dari tukang kebun atau pembantu rumah tangga, akan menimbulkan kesalahpahaman dalam perdebatan politik.
Setelah perdebatan panjang dan diskusi sengit, Volksraad akhirnya memutuskan untuk mengizinkan penggunaan bahasa Melayu bagi perwakilan pribumi. Meski ini adalah kemenangan simbolis, konflik bahasa terus berlanjut hingga tahun 1930-an, mencerminkan ketegangan identitas dan kekuasaan antara pribumi dan Belanda.
Kisah pertarungan bahasa di Volksraad ini lebih dari sekadar soal komunikasi; ini adalah cerita tentang perjuangan identitas di bawah bayang-bayang kolonialisme. Bahasa Melayu yang tetap bertahan di Volksraad, menjadi bukti bahwa budaya pribumi tidak bisa sepenuhnya ditundukkan. Alih-alih berhasil memopulerkan bahasa Belanda, Volksraad justru menandai awal dari kebangkitan identitas pribumi di tengah tekanan kolonial yang semakin lemah. (mth)