Pendidikan Ala KDM Dinilai Bunuh Madrasah dan Sekolah Swasta

TASIKMALAYA | Priangan.com – Akademisi dan pengamat pendidikan pesantren, DR H A. Zaki Mubarak, M.Si, M.Pd, menyoroti konsep pendidikan yang diusung Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), terutama dalam program yang dikenal dengan nama “Panca Waluya”.

Dalam keterangan tertulisnya, Zaki mengakui bahwa istilah dan narasi yang dibangun KDM dalam dunia pendidikan cukup menarik dan sarat nilai budaya lokal. Namun di balik istilah yang nyunda dan nyastra itu, Zaki menilai terdapat sejumlah kebijakan yang bisa berdampak negatif terhadap dunia pendidikan pesantren dan pendidikan berbasis kultural lainnya.

Zaki menjelaskan, Panca Waluya yang berarti lima kemuliaan adalah kerangka utama konsep pendidikan KDM. Lima kemuliaan itu dirangkai dalam istilah “Cababe-Pisi”, singkatan dari Cageur, Bageur, Bener, Pinter, jeung Singer.

“Ini adalah istilah yang sangat akrab di telinga masyarakat Sunda. Ungkapan ‘jadi jalma téh sing cageur, bageur, bener, jeung pinter’ itu sering kali diucapkan orang tua kepada anaknya,” ujar Zaki.

Menurutnya, penggunaan bahasa lokal sebagai filosofi pendidikan memang menarik dan mengakar. Bahkan, hal itu mengingatkannya pada gaya para menteri pendidikan di era Soekarno yang gemar menggunakan istilah khas seperti Sapta Usaha, Panca Cinta, hingga Panca Wardhana.

Namun, menurut Zaki, tidak cukup hanya dengan nama dan istilah menarik. Implementasi kebijakan di lapangan harus dikaji lebih dalam, terutama dari kacamata dunia pesantren.

“Saya melihat perlu pendekatan kritis dalam membedah kebijakan ini. Maka saya menggunakan pendekatan Critical Discourse Analysis (CDA) untuk memahami bagaimana kebijakan itu berdampak di akar rumput,” ujarnya.

Ia menilai, sejumlah kebijakan pendidikan ala KDM berpotensi menggerus sistem pendidikan pesantren yang selama ini hidup kuat di masyarakat pedesaan.

Lihat Juga :  Gelombang Pensiun Mengintai, Pemkab Tasikmalaya Siapkan Suksesor Eselon II

Zaki mengkritik kebijakan pembolehan jumlah siswa mencapai 50 orang dalam satu kelas. Menurutnya, ini membuat sekolah negeri menjadi pusat penumpukan murid, sementara sekolah swasta terpinggirkan. Kondisi ini, menurut Zaki, secara perlahan membunuh peran dan eksistensi sekolah swasta, termasuk madrasah yang banyak tumbuh di lingkungan pesantren.

Ia juga menyayangkan kebijakan sekolah seharian penuh yang justru menggerus waktu anak-anak untuk mengikuti kegiatan Subuh Mengaji dan Madrasah Diniyah. “Ini jelas mematikan ruang pendidikan nonformal yang sudah puluhan tahun berjalan, dan menjadi tradisi kuat di pesantren-pesantren,” tuturnya.

Zaki pun mengingatkan bahwa kebijakan populis seperti Barakisasi yang dilakukan KDM – meskipun sempat berhasil secara insidentil – perlu dievaluasi ulang ketika diadopsi secara struktural.

Lihat Juga :  Polemik Tak Halangi Proses, Seleksi Direksi PDAM Tirta Intan Garut Masuki Tahap Akhir

Menurutnya, pendekatan seperti ini rawan menciptakan tekanan budaya yang tak sesuai dengan karakter pendidikan berbasis kearifan lokal.

“Begitu juga dengan program rantang ke sekolah. Secara simbolik memang bagus, tapi perlu kajian serius apakah itu benar-benar menjawab kebutuhan utama dunia pendidikan,” imbuhnya.

Zaki juga menyoroti gagasan besar KDM soal sembilan langkah pembangunan pendidikan sebagai “main kamp” atau peta induk yang harus dijalankan di Jawa Barat. Menurutnya, gagasan semacam ini bagus sebagai ide, namun bisa menjadi masalah ketika diterapkan secara seragam tanpa melihat konteks dan ekosistem lokal.

“Pesantren itu bukan produk birokrasi, tapi lahir dari rahim masyarakat. Jangan semua daerah diseragamkan. Jangan pakai kacamata kota untuk mengatur desa. Dunia pesantren punya cara mendidik sendiri yang lebih menyatu dengan kultur lokal,” tegas Zaki.

Ia berharap, KDM bisa menggunakan kacamata pesantren dalam menyusun kebijakan pendidikan. Tidak semua wilayah bisa disamaratakan dalam satu pola. Ada ruang tradisi dan nilai-nilai lokal yang perlu dihargai. “Cukup dipahami dan dihayati, agar ada rasa. Kalau tidak, maka kebijakan yang baik sekalipun bisa jadi bumerang,” katanya.

Lihat Juga :  Protes Penahanan Ekrem Imamoglu, Ribuan Rakyat Turki Turun ke Jalan

Zaki mengakui bahwa banyak program KDM yang patut diapresiasi karena bersifat progresif dan populis. Namun, menurutnya, kritik tetap perlu diberikan, terutama jika ada kebijakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan atau malah merugikan ekosistem pesantren.

“Merancang masa depan pendidikan tidak bisa dilakukan secara instan, seperti menormalisasi sungai. Dibutuhkan pemikiran yang mendalam, perasaan yang tajam, dan dialog dengan semua elemen masyarakat,” pungkasnya. (yna)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos