JAKARTA | Priangan.com – Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025, kini menjadi sorotan tajam berbagai kalangan. Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menjadi salah satu suara keras yang menentang kebijakan tersebut.
Koordinator Pusat BEM SI, Satria Naufal, pada Kamis malam (19/12) menyatakan bahwa pemerintah harus meninjau kembali keputusan tersebut, yang menurutnya tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Ia juga menegaskan bahwa jika kebijakan ini tetap diterapkan, BEM SI akan menggelar demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia untuk menuntut pembatalannya.
“Jelas kami meminta untuk dikaji ulang hingga batal. Pidato Presiden Prabowo harus linear dengan kebijakannya dengan bicara kesejahteraan rakyat,” ujar Satria, menambahkan bahwa kenaikan PPN ini justru akan membebani daya beli masyarakat yang sudah tertekan oleh kondisi ekonomi yang sulit.
Tak hanya itu, kritik terhadap kebijakan ini juga datang dari berbagai elemen masyarakat. Pada Kamis (19/12) petang, ribuan orang yang berasal dari berbagai kelompok, termasuk mahasiswa, perempuan, Gen-Z, hingga penggemar K-pop (K-popers), berkumpul di Taman Aspirasi dekat Monumen Nasional (Monas) untuk menuntut agar pemerintah membatalkan rencana kenaikan PPN. Para demonstran membawa berbagai poster dengan pesan yang keras, salah satunya bertuliskan,
“Pajak tertinggi se-ASEAN, upah terendah No.5 di dunia. Dimana otaknya?” Poster ini menggambarkan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil bagi rakyat kecil.
Selain itu, ada juga kritik yang menyarankan solusi lain untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa harus memberatkan rakyat. Salah satu poster menyerukan untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, dengan kalimat “Negara butuh uang cepat? Perampasan aset solusinya! #TolakPPN12%”. Tidak ketinggalan, ada juga poster yang mengutip lirik lagu Nadin Amizah, “Semua aku dipajakkan”, sebagai sindiran terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu membebani masyarakat.
Kebijakan kenaikan PPN ini awalnya dijelaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai langkah yang selektif, di mana PPN 12 persen hanya akan dikenakan pada barang dan jasa kategori mewah, seperti makanan premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan internasional yang berbiaya mahal. Namun, penjelasan ini tidak cukup meredakan kemarahan masyarakat yang merasa kebijakan ini tetap akan berdampak pada kelas menengah dan bawah.
Tanggapan masyarakat terhadap kebijakan ini semakin kuat, dengan lebih dari 113 ribu orang yang menandatangani petisi online bertajuk “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” yang diunggah di situs change.org sejak 19 November 2024. Hal ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap kebijakan ini semakin meluas.
Dengan protes yang semakin memuncak, pemerintah di bawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto akan menghadapi tantangan besar dalam meyakinkan masyarakat bahwa kenaikan PPN ini adalah langkah yang tepat untuk menyehatkan perekonomian negara. Namun, seiring dengan ketidakpuasan yang terus berkembang, langkah pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini pada awal tahun depan akan menjadi ujian besar bagi pemerintahan yang baru. (mth)