Historia

Lady Jane Grey: Ratu Sembilan Hari yang Terjebak dalam Intrik Politik

“Eksekusi Lady Jane Grey 1554”, oleh Paul Delaroche, 1834. | Wikimedia Commons.

LONDON | Priangan.com – Pernahkah terdengar kisah seorang gadis yang belum genap 17 tahun, tiba-tiba diangkat menjadi ratu hanya dalam waktu sembilan hari? Itulah yang dialami Lady Jane Grey, seorang remaja cerdas yang menjadi pion dalam permainan politik berbahaya meski berakhir tragis.

Pada tahun 1547, Raja Henry VIII meninggal dunia, dan putranya, Edward VI, naik takhta saat usianya baru sembilan tahun. Namun, kesehatannya terus memburuk sejak tahun 1552.

Melihat kondisi ini, penasihat kepercayaan raja, John Dudley, berupaya memastikan bahwa pengganti Edward tetap seorang Protestan agar takhta tidak jatuh ke tangan Mary, kakak Edward, yang seorang Katolik. John pun menyusun rencana, meyakinkan Edward untuk menunjuk Lady Jane Grey, sepupunya sendiri sebagai penerus takhta.

Untuk memperkuat cengkeramannya, ia menikahkan Jane dengan putranya, Guildford Dudley, pada Mei 1553.

Edward VI wafat pada 6 Juli 1553 di usia 15 tahun akibat tuberkulosis. Lima hari setelahnya, Lady Jane Grey dinobatkan sebagai Ratu Inggris. Namun, penobatan ini tidak disambut dengan sorak sorai.

Seperti yang dicatat oleh duta besar Kaisar Romawi Suci, Jehan Scheyfve, “Tidak ada seorang pun yang menunjukkan tanda-tanda kegembiraan, dan tidak ada seorang pun yang berseru: ‘Hidup Ratu!'” Jane sendiri tampak enggan menerima takhta dan bahkan harus diyakinkan untuk mengenakan mahkota.

Ia juga menolak menjadikan suaminya sebagai raja tanpa persetujuan parlemen, sebuah keputusan yang membuat John Dudley marah besar.

Di sisi lain, Mary tidak tinggal diam. Dengan dukungan rakyat dan pasukan yang loyal kepadanya, ia bergerak menuju London. Jane, yang tidak memiliki pengalaman politik dan dukungan yang cukup kuat, segera kehilangan kekuasaannya.

Dewan kerajaan yang awalnya mendukungnya berbalik arah, menyatakan Mary sebagai ratu yang sah. Hanya sembilan hari setelah naik takhta, Jane dipaksa turun pada 19 Juli 1553 dan dipenjara di Menara London bersama suaminya.

Tonton Juga :  Letkol Untung Syamsuri; Bintang yang Jatuh di Malam Penuh Kelam

Lady Jane Grey bukan gadis biasa. Ia berpendidikan tinggi untuk zamannya, menguasai banyak bahasa, serta dikenal sebagai sosok yang baik dan cerdas. Namun, nasibnya telah ditentukan oleh ambisi orang-orang di sekelilingnya.

Ia menulis surat kepada Mary, menjelaskan bahwa dirinya hanyalah korban intrik politik dan memohon pengampunan. Namun, harapan itu pupus ketika pemberontakan Wyatt terjadi pada awal 1554, sebuah upaya untuk menggulingkan Mary dan mengembalikan Jane ke takhta.

Meskipun Jane tidak terlibat, Mary menganggap keberadaannya sebagai ancaman.

Pilihan terakhir untuk menyelamatkan nyawanya adalah berpindah agama menjadi Katolik, tetapi Jane menolak. Bahkan, ia enggan bertemu suaminya sebelum eksekusi, takut bahwa pertemuan itu hanya akan menambah kesedihan mereka.

Pada 12 Februari 1554, Guildford Dudley dieksekusi lebih dulu. Tak lama setelahnya, Jane dibawa ke tempat eksekusi.

Sebelum kapak algojo dijatuhkan, ia berkata, “Saya datang ke sini untuk mati,” mengakui kesalahannya, berdoa, dan meminta algojo untuk segera menyelesaikan tugasnya. Dalam sekejap, hidupnya berakhir, menjadi korban ambisi, keserakahan, dan perebutan kekuasaan yang kejam.

Lady Jane Grey, ratu selama sembilan hari, tetap dikenang sebagai salah satu figur paling tragis dalam sejarah Inggris. Ia bukan pengkhianat, bukan pencari kekuasaan, melainkan seorang gadis muda yang terjebak dalam pusaran politik yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri. (Lsa)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: