Historia

Kabuyutan Galunggung, Tempat Mulia di Kala Itu

Oleh: Muhajir Salam

TASIKMALAYA | Priangan.com – Selain sebagai nama gunung, Galunggung adalah nama penting dalam sejarah Sunda, dan secara khusus, sejarah Tasikmalaya. Galunggung di masa lalu adalah sebuah mandala, sebuah kabuyutan yang sangat dimuliakan, dipimpin oleh seorang resiguru atau batara.

Mandala atau kabuyutan adalah tempat kegiatan keagamaan pada masa pengaruh kebudayaan Hindu. Tempat para pendeta memberikan pelajaran agama kepada murid-murid mereka, mendoakan keselamatan dan kesejahteraan raja dan negara, menulis ajaran agama dan pengetahuan lainnya. Penghuninya mendapat perlindungan dan jaminan hidup dari raja serta pembebasan membayar pajak. Memiliki kehidupan penting dalam kehidupan bernegara sehingga raja yang berhasil melindunginya dipandang terhormat. Sedangkan bila kabuyutan direbut musuh, rajanya dipandang rendah martabatnya, lebih rendah nilainya daripada kulit musang. Dalam naskah kuna “Amanat Galunggung” disebutkan:

Asing iya nu meunangkeun kabuyutan na Galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang, iya heubeul nyéwana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama-resi.

Lamun miprangkeuna kabuyutan na Galunggung, a(n)tuk na kabuyutan, awak urang na kabuyutan, nu leuwih diparaspadé, pahi deung na Galunggung, jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung, ku sakalian, muliyana kulit lasun di jaryan, madan na rajaputra, antukna boning ku sakalaih.

(Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi).

(Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih (sulit dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah dari pada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain).

Dari petikan di atas, jelas terlihat bagaimana posisi Galunggung sebagai sebuah kabuyutan, tempat keramat atau tempat suci. Galunggung adalah mandala yang sangat diagungkan dan harus dijaga dengan baik, bahkan harus dipertahankan dengan segenap jiwa raga. Kabuyutan Galunggung adalah simbol dari jati diri yang tidak boleh dikuasai oleh bangsa asing. Jika kabuyutan Galunggung mampu direbut atau dikuasai bangsa lain, maka hilanglah harga diri, kewibawaan, dan nilai-nilai kehidupan bangsa Sunda, hingga nilai dirinya tidak lebih berharga dari kulit musang di tempat sampah.

Tonton Juga :  Tragedi Trisakti dan Kekerasan APH yang Tak Pernah Hilang

Gambar: Tulisan naskah pada prasasti Gegerhanjuang pada tahun 1890

Kemudian dalam naskah “Carita Parahiyangan”, terdapat kalimat Tembey sang Resi Guru ngayuga taraju jayadipa, Taraju mainya Galunggung Jawa ma ti wetan. Artinya: Mula-mula Sang Resi Guru membuat pengukuh pulau Jawa. Pengukuh itu ialah Galunggung. Jawa ada di sebelah timurnya.

Menurut fragmen Carita Parahiyangan, Galunggung adalah pengukuh (Sunda: pamageuh) Pulau Jawa; frasa ini bisa memiliki lebih dari satu tafsir atau pengertian. Galunggung sebagai gunung yang menjadi pasak pengukuh pulau jawa; serta Galunggung sebagai kabuyutan yang menjadi pengukuh spiritual di pulau Jawa. Namun terlepas dari adanya tafsir tersebut, kalimat yang tercantum dalam fragmen Carita Parahiyangan telah memberi kesan tentang pentingnya posisi Galunggung di masa lalu.

Eksistensi Kabuyutan Galunggung bermula sezaman dengan Denuh dan Galuh (abad ke-8), tetapi pengaruhnya lebih besar dari Denuh sehingga turut menentukan kesahan raja-raja Sunda. Pemimpinnya antara lain Sanghyang Semplakwaja, putera Sang Wretikandayun, raja di Galuh. Lama kelamaan statusnya bergeser ke arah kekuasaan pemerintahan. Karena itu pada abad ke-12 muncul raja bernama Batari Hyang dan Rakean Darmasiksa. Raja yang disebut pertama mengeluarkan prasasti Geger Hanjuang, dan raja yang disebut kedua mengeluarkan amanat untuk anak-cucunya mengenai hal ihwal yang bertalian dengan sikap dan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh kalangan bangsawan seperti tertera dalam naskah “Amanat Galunggung”.

Galunggung mulai disebut dalam panggung sejarah masa lampau, sejak Kerajaan Galuh diperintah oleh Wretikandayun Prabu Galuh atau Rahiyangta Ri Menir (534 – 624 Saka / 612 – 702 Masehi). Dari Wretikandayun Prabu Galuh atau Rahiyangta Ri Menir inilah diberitakan adanya wilayah bernama Galunggung dan Denuh. Rahiyangta Ri Menir diberitakan mempunyai tiga orang putera. Yang sulung karena cacat, tanggal giginya, disebut Batara Semplakwaja, ditempatkan menjadi Batara Dangiang Guru di Galunggung. Yang kedua, juga cacat karena menderita hernia (burut), ditempatkan di Denuh dengan sebutan Rahiyangta Kidul. Yang ketiga, ialah Rahiyangta Wretikandayun atau Mandiminyak yang mewarisi tahta Kerajaan Galuh dan menjadi raja di Galuh.

Rahiyangta Semplakwaja yang mengabdikan dirinya dalam keagamaan, menjadi seorang batara atau resiguru dengan gelar Danghiyang Guru di Galunggung, mempunyai kekuasaan dalam mengabhiseka (mengesahkan) raja-raja. Seorang raja baru sah bertahta jika telah disetujui Galunggung. Kepadanya diberi daerah-daerah penunjang sebanyak 12 daerah. yaitu, Kajaron, Kahuripan, Balaraja, Balamoha, Pangajahan, Muntur, Pagerwesi, Batur, Parahiyangan, Puntang, Lembuhuyu dan Kuningan.

Daerah Galunggung sebagai inti kawasan yang dikuasai Semplakwaja disebutkan batas-batasnya dalam Kropak 406: yakni sebelah barat hulu Ciwulan (Gunung Cikuray dan Gunung Karacak), sebelah utara Gunung Sawal, sebelah timur Pelang Datar (mungkin tempat yang sekarang bernama Datar, di sebelah timur Citanduy, sebelah tenggara Gunung Subang).

Tonton Juga :  ENGSUN, TEMPAT PACARAN GRATIS DAN TERSEMBUNYI DI KOTA SANTRI

Semplakwaja atau Batara Danghyang Guru Galunggung memiliki dua orang putera yaitu Purbasora dan Demumawan. Purbasora adalah menantu Resi Padmahariwangsa penguasa kerajaan Indraprahasta di daerah Cirebon. Sementara Demumawan adalah menantu raja Kuningan bernama Pandawa atau Wiragari. Indraprahasta dan Kuningan adalah dua kerajaan yang cukup kuat dan berpengaruh di tatar Galuh. Batara Danghyang Guru menjadikan kedua kerajaan tersebut sekutu kabuyutan Galunggung.

Pada awal abad VIII, Purbasora anak sulung Batara Danghyang Guru Galunggung, terlibat dalam perebutan tahta kekuasaan Galuh. Pada saat itu, kerajaan Galuh dikuasai oleh Sena atau Bratasena anak Mandiminyak. Dalam perebutan kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh Bimaraksa anak Resiguru Rahiyang Kidul dari Denuh Karangnunggal. Motif dari perebutan kekuasaan itu adalah klaim hak atas tahta kerajaan. Karena Sena raja Galung III adalah anak hasil hubungan Mandiminyak yang tidak syah. Maka pada saat itu, kerajaan Galuh dikuasai oleh keturunan Galunggung dan Denuh.

Sanjaya putra Bratasena berupaya merebut kembali tahta ayahnya di kerajaan Galuh. Suhu politik kerajaan Galuh pada saat itu sangatlah panas. Perebutan kekuasaan itu melibatkan banyak kerajaan, di antaranya kerajaan Sunda dan kerajaan Kalingga di Jawa Tengah. Dalam pertempuran itu Purbasora wafat dan kerajaan Indraprahasta yang menjadi sekutu utamanya dihapuskan. Batara Danghyang Guru Galunggung kembali mengambil peran pentingnya dalam menyelesaikan konflik ini dengan bijak. Untuk mempertahankan eksistensi kerajaan Galuh dan meredam konflik keturunan, Batara Guru Galunggung menunjuk Permanadikusumah sebagai raja Galuh, dan Tamperan Barmawijaya sebagai patih kerajaan. Keputusan ini sangatlah adil, Permanadikusumah adalah anak Patih Wijayakusumah (keturuan kabuyutan Denuh) yang juga cucu Purbasora (keturunan kabuyutan Galunggung). Sementara Tamperan Barmawijaya adalah anak Sanjaya, cucunya Btarasena (keturunan Mandiminyak).

Masih pada abad VIII M, Demunawan anak Batara Danghyang Guru Galunggung diangkat menjadi raja Saung Galah Kuningan. Demunawan adalah seorang resiguru yang memiliki pengaruh politik yang cukup luas. Pusat kerajaan Saung Galah terletak di lereng Gunung Cereme sebelah selatan. Kekuasaan Resiguru Demunawan meliputi Layungwatang, Kajaron, Kalanggara, Pegerwesi, Rahasea, Kahuripan, Sumajajah, Pasugih, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang. Dalam menjalankan pemerintahannya, Resiguru Demunawan dibantu oleh guruhaji dan buyut haden. Resiguru Demunawan adalah penerus Batara Danghyang Guru Galunggung.

Tonton Juga :  Tragedi Ninja Banyuwangi; Pembantaian Mencekam yang Pernah Mengguncang Jawa Timur

Demikianlah, peran kabuyutan Galunggung pada awal pembentukan kerajaan Galuh. Galunggung memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam dinamika sosial dan politik di tatar Sunda. Galunggung dapat dikatakan sebagai penopang berdirinya kerajaan Galuh. Karena bagaimanapun, para penguasa penerus tahta kerajaan Galuh masih merupakan keturunan Galunggung. Galuh dan Galunggung adalah dua nama yang tidak bisa dipisahkan.

Peran seorang batara atau resiguru adalah menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin spiritual di sebuah mandala atau kabuyutan. Ia mengajarkan nilai-nilai kearifan bagi masyarakat, sebagai tempat mencari kebijaksanaan dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Bahkan tidak hanya untuk lingkungan kabuyutan atau sekitarnya, tetapi juga bagi para pemangku kebijakan di pusat pemerintahan. Seorang resiguru adalah penasihat spiritual untuk para raja, dan pemimpin agama yang ditaati oleh seluruh rakyat kerajaan.

Sebelum Batara Semplakwaja menjadi resiguru, beberapa nama disebut dalam cerita rakyat pernah menjadi resiguru di kabuyutan Galunggung. Yakni Sanghiang Puhun, Sanghiang Tunggal, Sanghiang Wiroga, Batara Tunggal, Ratu Demang Seda, Kamulan Batara Sakti, Batara Siluman, Batara Sombeng, kemudian Batara Semplakwaja. Kemudian batara setelah Batara Semplakwaja disebutkan Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan kemudian Batari Hyang. ***

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: