Historia

Julia Ward Howe : Dari Melodi Menuju Panggung Perjuangan

Julia Ward Howe saat muda (Sekitar tahun 1855). | Hulton Archive, Getty Images.

WASHINGTON, DC | Priangan.com – Musik telah lama menjadi bagian penting dalam berbagai peristiwa sejarah, termasuk dalam peperangan. Lagu-lagu mars sering kali digunakan untuk membangkitkan semangat para prajurit di medan perang dan menyatukan mereka dalam tujuan yang sama.

Salah satu lagu mars paling terkenal di Amerika Serikat selama Perang Saudara lahir dari momen inspirasi tak terduga yang dialami oleh seorang penyair bernama Julia Ward Howe. Lagu yang ia tulis dalam keadaan setengah sadar ini pertama kali dijual ke sebuah majalah seharga lima dolar.

Pada November 1861, Howe mengunjungi Washington, DC, bersama suaminya, Samuel, dan di sana ia mendengar para tentara Union menyanyikan lagu “John Brown’s Body,” sebuah lagu yang sangat populer di kalangan para pendukung gerakan abolisionis. Sebagai seorang penyair sekaligus abolisionis yang bersemangat, Howe tergerak untuk menciptakan lirik baru yang lebih bermakna bagi lagu tersebut. Namun, inspirasinya belum muncul saat itu juga.

Momen kejeniusannya terjadi secara tak terduga. Suatu pagi, Howe terbangun lebih awal dalam keadaan setengah sadar, tanpa memikirkan sesuatu yang khusus, ketika tiba-tiba rangkaian lirik mulai tersusun di benaknya. Menyadari bahwa ia harus segera menuliskannya sebelum lupa, Howe segera bangkit dari tempat tidur dan mencatat lirik-lirik tersebut sebelum kembali tidur.

Beberapa waktu kemudian, ia menjual puisi tersebut kepada Atlantic Monthly pada tahun 1862 tanpa menyangka bahwa karyanya akan menjadi lagu kebangsaan bagi tentara Union dan tersebar luas di seluruh negeri.

Meski dikenal sebagai seorang pasifis yang tidak menyetujui adanya peperangan atau kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik, Howe berhasil menciptakan lirik militer yang membakar semangat para prajurit Union. Beberapa bait dalam lagu tersebut menggambarkan keberadaan Tuhan dalam perjuangan mereka, seperti lirik yang artinya:

Tonton Juga :  Sejarah Versailles, Perjanjian Damai yang Membuka Jalan Menuju Perang Dunia II

“Aku telah melihat-Nya di api unggun seratus perkemahan yang berputar-putar; Mereka telah membangunkan-Nya sebuah altar di tengah embun dan kelembaban malam.”

“Aku dapat membaca kalimat-Nya yang adil melalui cahaya lampu yang redup dan menyala-nyala: Hari-Nya terus berjalan.”

Lagu yang kemudian dikenal sebagai The Battle Hymn of the Republic ini begitu menggetarkan hati, bahkan dikatakan mampu membuat Presiden Abraham Lincoln menitikkan air mata. Kepopulerannya melampaui masa Perang Saudara, karena liriknya yang penuh semangat dan nilai moral tinggi membuatnya digunakan dalam berbagai gerakan sosial.

Salah satu momen paling berkesan adalah ketika Martin Luther King Jr. mengutip bait dari lagu ini dalam pidatonya yang terkenal, I’ve Been to the Mountaintop, pada tanggal 3 April 1968 di Mason Temple di Memphis, Tennessee. Dia mengatakan, “Mine eyes have seen the glory of the coming of the Lord”. Hanya sehari setelah pidato tersebut, King dibunuh, dan lagu ini pun semakin melekat sebagai simbol perjuangan dalam gerakan Hak Sipil.

Dengan lirik yang kuat dan penuh makna, lagu ini tetap dikenang sebagai salah satu warisan budaya paling berpengaruh dalam sejarah Amerika Serikat.

Hingga hari ini, The Battle Hymn of the Republic terus dikumandangkan dalam berbagai acara bersejarah, dari upacara kenegaraan, peringatan perjuangan hak asasi manusia, hingga acara-acara patriotik seperti peringatan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat dan upacara pemakaman tokoh nasional.

Lagu ini menjadi bukti bahwa musik memiliki kekuatan luar biasa untuk menginspirasi, menggerakkan, dan menghubungkan generasi yang berbeda dalam satu semangat yang sama, tepatnya perjuangan untuk kebebasan dan keadilan. (Lsa)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: