SUMATERA BARAT | Priangan.com – Sumatra Barat, dengan keindahan alam yang memukau, menyimpan kisah perjalanan panjang moda transportasi kereta api yang kini hanya menjadi bayang-bayang kejayaannya. Dari Lembah Anai yang megah hingga Danau Singkarak yang memesona, jejak sejarah rel kereta api tetap abadi meski sebagian besar kini terbengkalai. Namun, bagaimana awal mula perjalanan kereta api di tanah Minangkabau ini?
Sejarah kereta api di Sumatra Barat berakar pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19. Setelah menguasai wilayah ini pasca-Perang Padri (1803–1837), pemerintah kolonial menyadari potensi besar Sumatra Barat, terutama kekayaan batu bara di Ombilin, Sawahlunto. Dengan topografi berbukit dan jalanan curam di Bukit Barisan, pengangkutan batu bara menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, Belanda memutuskan membangun jaringan kereta api untuk mempermudah pengiriman hasil tambang menuju pesisir.
Pembangunan dimulai pada tahun 1873, dengan jalur pertama yang menghubungkan Kota Padang, Kayutanam, Lembah Anai, Padang Panjang, dan Danau Singkarak. Jalur ini akhirnya diresmikan pada tahun 1887, mencakup rute Padang ke Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) hingga Muara Kalaban di Sawahlunto. Para “orang rantai,” istilah bagi tahanan perang dari Jawa yang dipekerjakan secara paksa, menjadi tulang punggung pembangunan jalur sepanjang 56 kilometer tersebut.
Dalam waktu 22 tahun, jaringan kereta api di Sumatra Barat telah mencapai 230 kilometer. Jalur ini bahkan sempat menembus Riau di timur, dengan cabang-cabang yang menjangkau Fort de Kock hingga Payakumbuh. Meski sempat direncanakan untuk terhubung dengan jaringan kereta api Sumatra Utara dan Aceh, rencana besar itu kandas akibat invasi Kekaisaran Jepang pada Perang Dunia II.
Setelah masa kolonial, popularitas kereta api di Sumatra Barat perlahan memudar. Moda transportasi darat seperti bus dan van antarkota mulai mendominasi, menawarkan fleksibilitas dan daya tarik perjalanan yang lebih besar. Sisa kejayaan kereta api kini hanya terlihat pada rute Padang—Pariaman yang masih beroperasi, terutama untuk wisatawan. Jalur-jalur lain, seperti rel di Lembah Anai dan sepanjang Danau Singkarak, terbengkalai dan ditumbuhi semak belukar.
Data Badan Transportasi Perkeretaapian (BTP) Padang menunjukkan bahwa dari total 353,114 kilometer jalur kereta api di Sumatra Barat, hanya 107,221 kilometer yang aktif. Usulan untuk mengaktifkan kembali beberapa jalur, seperti Sawahlunto-Solok dan Solok-Batu Tabal, kerap terkendala oleh penolakan masyarakat yang telah menggunakan lahan rel sebagai pemukiman atau aktivitas lainnya.
Meski masa kejayaannya telah berlalu, kereta api di Sumatra Barat menyimpan potensi besar untuk dihidupkan kembali, terutama sebagai moda transportasi wisata. Rel di Lembah Anai, misalnya, dapat menghadirkan pengalaman unik bagi wisatawan yang ingin menikmati air terjun dari jarak dekat. Begitu pula dengan jalur di Danau Singkarak yang menawarkan panorama alam luar biasa.
Otoritas transportasi telah mengusulkan perpanjangan rel dari Kota Padang hingga Bandar Udara Minangkabau untuk menciptakan sistem transportasi terintegrasi. Namun, upaya ini memerlukan dukungan kuat, baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk merevitalisasi rel-rel tua yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah.
Kereta api di Sumatra Barat adalah warisan yang tidak hanya menyimpan nilai sejarah, tetapi juga potensi besar untuk masa depan. Dengan memadukan keindahan alam dan nilai historisnya, kebangkitan moda transportasi ini dapat menjadi penggerak ekonomi, khususnya di sektor pariwisata. Dalam setiap pemandangan rel yang terabaikan, tersimpan kisah perjuangan, inovasi, dan harapan untuk menghubungkan kembali masa lalu dengan masa depan Minangkabau. (mth)