YOGYAKARTA | Priangan.com – Dalam sejarah panjang Nusantara, banyak peristiwa yang secara diam-diam membentuk arah perjalanan bangsa ini, meninggalkan jejak yang masih terasa hingga hari ini. Salah satu titik balik penting terjadi di tanah Mataram pada awal abad ke-19, saat Jawa menjadi medan perebutan kekuasaan antara kekuatan lokal dan imperium asing.
Ketika Inggris mulai memperluas kekuasaannya di Asia, mereka melihat Pulau Jawa yang sebelumnya dikuasai Belanda, sebagai wilayah strategis, baik secara ekonomi maupun militer. Pada tahun 1811, Inggris berhasil mengambil alih Batavia, dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles mulai menyusun langkah-langkah untuk menundukkan seluruh Jawa di bawah kendali Inggris.
Raffles bukan hanya ingin mempertahankan pulau ini dari ancaman Perancis dan Belanda, tetapi juga memastikan bahwa setiap kerajaan lokal tunduk pada administrasi Inggris. Ia mengirim residen ke berbagai wilayah, termasuk ke pusat-pusat kekuasaan seperti Surakarta dan Yogyakarta.
Namun langkah ini mendapat perlawanan dari Sultan Hamengkubuwana II di Yogyakarta yang menolak kehadiran Inggris dan menjalin aliansi dengan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta. Raffles mencoba menyelesaikan konflik melalui diplomasi dengan mengutus John Crawfurd dan Pangeran Notokusumo. Tapi perundingan tersebut menemui jalan buntu. Ketegangan pun memuncak, dan Inggris memilih jalan kekerasan.
Dalam kondisi internal keraton yang sedang dilanda konflik keluarga, Raffles melihat celah untuk melancarkan serangan. Pada 18 Juni 1812, Inggris memulai serangan militer yang kelak dikenal sebagai Geger Sepoy. Nama ini berasal dari pasukan Sepoy, tentara asal India yang telah lebih dahulu dijajah Inggris, menjadi ujung tombak dalam operasi militer ini.
Pasukan Inggris terdiri dari sekitar 1.200 prajurit Eropa dan Sepoy, diperkuat oleh 800 personel Legiun Mangkunegaran, pasukan dari Surakarta, serta dukungan dari Notokusumo dan Tan Jin Sing. Peristiwa ini pun dirancang dengan persiapan matang, termasuk penyusunan strategi pengepungan dan titik serang.
Pertempuran berlangsung sengit selama dua hari di sekitar benteng Baluwerti. Dentuman meriam dan tembakan artileri mewarnai suasana Yogyakarta, menciptakan kepanikan di antara penduduk.
Pada dini hari 20 Juni, pasukan Inggris bergerak dalam diam dan menyerbu pertahanan belakang keraton melalui Plengkung Tarunasura, Nirbaya, dan kawasan Alun-Alun Utara. Pertahanan keraton jebol dan Sultan Hamengkubuwana II ditangkap bersama para bangsawan yang tersisa. Penjarahan besar-besaran terjadi bukan hanya terhadap emas, permata, dan perbendaharaan, tetapi juga terhadap naskah-naskah kuno yang menyimpan sejarah dan filosofi Jawa.
Serangan yang berlangsung selama tiga hari ini mengubah total struktur kekuasaan Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwana II diasingkan ke Pulau Penang, dan Inggris menunjuk putranya, Adipati Anom Surojo, sebagai Sultan Hamengkubuwana III dengan syarat tunduk pada kekuasaan kolonial.
Pelantikan pun dilakukan di Loji Residen, bukan di dalam keraton sebagaimana lazimnya, menandakan dominasi Inggris atas tradisi lokal.
Tidak hanya itu, Inggris juga membentuk kekuasaan baru dengan mengangkat Pangeran Notokusumo sebagai Adipati Pakualaman I dan menjadikan Kadipaten Pakualaman sebagai wilayah semi-merdeka di bawah pengawasan Inggris. Beberapa tahun kemudian, setelah Hamengkubuwana III wafat, anaknya, Adipati Anom Ibnu Jarot, diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana IV, lagi-lagi dalam skema yang disusun oleh pemerintah kolonial.
Kerugian yang diderita Kasultanan Yogyakarta tidak hanya berupa kehancuran struktur kekuasaan, tetapi juga kehilangan warisan intelektual. Ribuan naskah sejarah, budaya, dan filsafat Jawa dibawa ke Inggris oleh Raffles dan kini banyak tersimpan di British Library, London. Salah satu yang terkenal adalah Serat Centhini, karya sastra agung yang menggambarkan perjalanan spiritual dan budaya masyarakat Jawa.
Setelah pengambilalihan kekuasaan, Inggris menerapkan kebijakan baru yang menguntungkan posisi mereka. Melalui perjanjian politik antara Sultan Hamengkubuwana III dan Residen John Crawfurd, Inggris memperoleh konsesi wilayah seperti Kedu, Jipang, Japan, Grobogan, dan Pacitan.
Para bupati lama dipulangkan ke Yogyakarta dan digantikan dengan pejabat baru yang loyal terhadap Inggris. Sistem ekonomi juga dirombak. Pajak tanah diperkenalkan sebagai sumber pendapatan utama pemerintah kolonial, sementara kerja paksa dan bentuk penyerahan lainnya dihapuskan. Namun, kebijakan pajak yang tinggi justru memperburuk kondisi ekonomi rakyat.
Dalam implementasinya, Inggris kerap memberikan kewenangan pemungutan pajak kepada para pejabat Tionghoa. Sayangnya, banyak terjadi penyelewengan yang makin menyengsarakan penduduk. Sementara itu, Inggris tetap memelihara dualisme hukum antara adat Islam dan hukum kolonial, meskipun dengan berbagai modifikasi yang mendukung kepentingan mereka.
Meski di tengah kekacauan ini sempat muncul semangat pembaruan dalam studi kebudayaan, seperti dokumentasi cagar budaya dan pelestarian manuskrip, semuanya dilakukan dalam kerangka kepentingan kolonial.
Geger Sepoy tak sekadar menjadi simbol kekalahan militer atau kehancuran politik, tetapi juga menandai awal dari tatanan baru di Yogyakarta di bawah bayang-bayang kekuasaan Barat. Untuk mengenang perjuangan rakyat Mataram, sebuah prasasti didirikan di Kampung Ketelan, Wijilan, di kawasan Jokteng Lor Wetan, Yogyakarta. Prasasti ini menjadi pengingat bahwa sejarah bukan hanya milik para pemenang, melainkan juga milik mereka yang pernah bertahan dan berjuang, meski harus kalah oleh senjata dan siasat bangsa penjajah. (LSA)