PARIS | Priangan.com – Di tengah gelombang Revolusi Prancis, ketika jalanan Paris dipenuhi suara demonstrasi, denting senjata, dan bisik-bisik perubahan, seorang gadis remaja dikurung di dalam rumah demi keselamatannya. Ia tidak bisa keluar, tidak bisa bermain, dan tidak punya siapa pun untuk diajak bicara selain tumpukan buku-buku tua di perpustakaan milik ayahnya. Tapi dari kesunyian dan keterasingan itulah, ia justru menemukan dunia angka, rumus, dan pola-pola misterius yang hanya bisa dipecahkan dengan akal. Namanya Sophie Germain, dan dari balik pintu kamar yang tertutup rapat, ia sedang menantang zaman.
Sophie bukan anak dari keluarga biasa. Ayahnya, Ambroise-François Germain, seorang pedagang sutra sukses dan tokoh politik ternama yang menjabat di Majelis Konstituante yang kemudian menjadi direktur Bank Prancis, memiliki kekayaan dan pengaruh.
Namun, bagi seorang anak perempuan di akhir abad ke-18, semua itu tidak menjamin kebebasan untuk berpikir dan belajar. Ketika Sophie mulai menunjukkan minat mendalam terhadap matematika, keluarganya justru menghalanginya. Lilin disita, api dilarang dinyalakan di malam hari, dan pakaiannya disembunyikan agar ia tak bisa membaca saat udara dingin menusuk.
Namun, Sophie bertahan. Ia membungkus dirinya dengan seprai, menyelundupkan lilin, dan terus membaca dalam diam. Ketekunannya tak bisa dipadamkan, dan pada akhirnya, keluarganya pun menyerah pada tekad Sophie yang tak tergoyahkan.
Di usia muda, Sophie mengajarkan dirinya sendiri bahasa Latin dan Yunani agar bisa membaca karya-karya ilmuwan klasik. Ia jatuh cinta pada geometri setelah membaca kisah tragis Archimedes yang terbunuh karena terlalu asyik dengan rumus-rumusnya. Dari sanalah tekadnya tumbuh, ia ingin mendedikasikan hidupnya pada matematika, sebuah pilihan yang terdengar mustahil.
Pada masa itu, universitas bergengsi seperti École Polytechnique tak menerima perempuan sebagai mahasiswa. Tapi Sophie menemukan jalan lain. Ia meminjam catatan kuliah mahasiswa, menulis pemikirannya sendiri, dan mengirimkan ide-idenya kepada para profesor.
Ia menyembunyikan identitasnya di balik nama samaran laki-laki, “M. Le Blanc”, agar tulisannya dianggap serius. Strategi itu berhasil. Joseph-Louis Lagrange, salah satu matematikawan besar Prancis, begitu terkesan hingga tak mundur ketika mengetahui bahwa “Le Blanc” adalah seorang wanita.
Bahkan Carl Friedrich Gauss, ilmuwan jenius dari Jerman, menjalin korespondensi panjang dengannya selama tiga tahun tanpa menyadari bahwa lawan bicaranya adalah seorang perempuan. Ketika identitas Sophie akhirnya terungkap, Gauss pun memujinya dan bahkan mengusulkan agar Universitas Göttingen memberinya gelar doktor kehormatan. Sayangnya, Sophie meninggal sebelum penghargaan itu bisa diberikan.
Sebelum tahun 1808, karya-karya Sophie banyak berfokus pada teori bilangan, termasuk kontribusinya terhadap Teorema Terakhir Fermat. Ia berhasil menunjukkan bahwa untuk eksponen prima di bawah 100, tidak mungkin ada solusi yang relatif prima, sebuah pencapaian penting dalam bidang tersebut. Namun kemudian, perhatiannya beralih ke bidang baru yang sedang tumbuh, yaitu fisika matematika.
Ia tertarik pada pola-pola getaran yang disebut figur Chladni, pola geometris yang terbentuk dari getaran pada permukaan datar. Pada tahun 1811, Sophie mengirimkan makalah tentang persoalan ini secara anonim ke kompetisi ilmiah yang diadakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Prancis. Meski makalah tersebut sempat dikritik dan dianggap belum sempurna, tidak ada peserta lain yang ikut serta. Ia menyempurnakan karyanya, dan pada 8 Januari 1816, akhirnya dianugerahi penghargaan. Namun, ia menolak hadir dalam upacara karena khawatir menjadi bahan perbincangan sebagai perempuan di ranah sains publik.
Kontribusi Sophie dalam studi elastisitas dan getaran tak hanya penting bagi ilmu pengetahuan pada masanya, tetapi juga menjadi dasar dari matematika terapan modern. Prinsip-prinsip yang ia rumuskan kini digunakan dalam perhitungan teknik untuk membangun gedung pencakar langit dan struktur besar lainnya. Ia menjadi pelopor dalam bidang akustik dan elastisitas, membuka jalan bagi fisika matematika yang berkembang setelahnya.
Meski hidup dalam dunia yang belum membuka pintu bagi perempuan, Sophie Germain akhirnya diakui. Ia menjadi wanita pertama yang diperbolehkan menghadiri sesi-sesi di Institut de France. Hingga akhir hayatnya pada tahun 1831, akibat kanker payudara, ia tetap bekerja dan menulis. Meski tak sempat melihat dunia berubah sepenuhnya, benih-benih pemikirannya telah tumbuh dan mengakar.
Kini, namanya diabadikan dalam berbagai bentuk. Sebuah sekolah di Paris diberi nama L’École Sophie Germain dan sebuah jalan di kota itu dinamai Rue Germain. Dalam dunia matematika, dikenal pula istilah “bilangan prima Sophie Germain” untuk menghormati kecerdasan dan ketekunannya. Dari kamar kecil tempat ia diam-diam belajar hingga ke panggung sejarah ilmu pengetahuan, Sophie Germain membuktikan bahwa semangat dan pikiran tak pernah mengenal batas, bahkan di dunia yang belum siap menerimanya. (LSA)