Undang-Undang Musuh Asing, Ancaman Abadi bagi Kebebasan Sipil di AS

WASHINGTON DC | Priangan.com – Pada akhir abad ke-18, Amerika Serikat berada dalam situasi yang genting. Hubungan dengan Prancis memburuk, sementara ketegangan politik di dalam negeri semakin meningkat. Ketakutan terhadap pengaruh asing pun merebak, terutama terhadap para imigran yang baru datang dan dianggap berpotensi membahayakan stabilitas negara.

Dalam suasana penuh kecurigaan itu, Kongres yang didominasi oleh Partai Federalis meloloskan serangkaian undang-undang kontroversial yang dikenal sebagai Alien and Sedition Acts pada tahun 1798.

Salah satu undang-undang dalam paket ini adalah Undang-Undang Musuh Asing (Alien Enemies Act), yang kelak menjadi warisan hukum paling tahan lama dari masa tersebut.

Undang-Undang Musuh Asing memberi presiden kekuasaan luas terhadap warga negara asing selama masa perang. Presiden bisa menangkap, memenjarakan, dan mendeportasi warga negara dari negara musuh tanpa melalui proses hukum biasa.

Undang-undang ini tidak menetapkan batasan waktu yang jelas, menjadikannya alat hukum yang sangat kuat di tangan eksekutif.

Meski tidak langsung digunakan pada saat pengesahannya, Undang-Undang Musuh Asing tetap aktif dalam hukum federal.

Ketika Perang 1812 pecah antara Amerika Serikat dan Inggris, Presiden James Madison menggunakan undang-undang ini untuk menetapkan warga Inggris sebagai musuh asing. Mereka dikenai pembatasan gerak dan wajib melapor secara berkala.

Penggunaan undang-undang ini berlanjut dalam Perang Dunia I. Presiden Woodrow Wilson menargetkan warga Jerman dan Austria-Hungaria yang tinggal di AS. Mereka dilarang memiliki senjata, dibatasi tempat tinggalnya, dan dikenai pembatasan berekspresi. Sekitar 10.000 orang ditangkap, dan 2.000 di antaranya ditahan di kamp-kamp khusus.

Penerapan paling kontroversial terjadi saat Perang Dunia II. Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, Presiden Franklin D. Roosevelt menyatakan warga Jepang, Jerman, dan Italia sebagai musuh asing. Sekitar 31.000 orang ditahan, termasuk warga sipil yang tak terbukti bersalah.

Lihat Juga :  Kisah Nyata Politisi yang Berpura-pura Mati Demi Lari Dari Skandal

Interniran massal terhadap lebih dari 120.000 warga keturunan Jepang, termasuk warga negara AS sendiri, menjadi salah satu noda hitam dalam sejarah Amerika.

Lihat Juga :  Lagi, Houthi Luncurkan Rudal di Laut Merah: Solidaritas Palestina

Meskipun peristiwa tersebut kini diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia, Mahkamah Agung tetap mengesahkan keabsahan Undang-Undang Musuh Asing dalam putusan Ludecke v. Watkins pada tahun 1948.

Menurut keputusan itu, meskipun perang telah usai, situasi pascaperang masih bisa menjadi dasar penerapan hukum tersebut.

Seiring waktu, muncul suara-suara penolakan terhadap keberadaan undang-undang ini. Salah satunya datang dari Mike Honda, seorang mantan anggota Kongres yang pernah mengalami interniran saat kecil.

Ia menggagas RUU “Tetangga, Bukan Musuh” untuk mencabut Undang-Undang Musuh Asing, namun gagal mendapat dukungan luas di Kongres.

Kini, Undang-Undang Musuh Asing masih tercatat dalam sistem hukum federal Amerika Serikat. Meski jarang digunakan, keberadaannya tetap memicu perdebatan tentang batas kekuasaan presiden, perlindungan kebebasan sipil, dan nasib para imigran di tengah bayang-bayang ancaman keamanan nasional. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos