Triora dan Tragedi Para Perempuan yang Dituduh Menjadi Penyihir

GENOA | Priangan.com – Di tengah perayaan Halloween yang kian marak, figur penyihir sering kali hanya dianggap bagian dari tradisi hiburan dengan karakter mistis yang memikat, menakutkan, dan kini dijadikan simbol pesta tahunan di banyak negara. Namun di balik keriuhan itu, ada kisah nyata yang jauh lebih kelam, tentang bagaimana ketakutan dan keyakinan buta pernah membuat manusia saling menghancurkan. Salah satu kisah itu datang dari sebuah desa kecil di Italia bernama Triora, tempat yang kini dijuluki ‘Salem Italia’ karena sejarah panjang perburuan penyihirnya.

Sebagaimana dilansir dari Sightseeing, kisah itu berawal pada tahun 1587. Saat itu, Triora dilanda kelaparan hebat. Hujan tak turun, hasil panen gagal, dan warga desa hidup dalam keputusasaan. Dalam kondisi sulit itu, masyarakat mulai mencari penyebab bencana yang mereka alami. Beberapa perempuan kemudian dituduh melakukan sihir yang menyebabkan gagal panen dan penyakit. Tuduhan itu cepat menyebar, dan ketakutan berubah menjadi kepanikan. Orang-orang percaya bahwa kekuatan gelap sedang bekerja di antara mereka.

Pemerintah gereja kemudian turun tangan. Lebih dari tiga puluh perempuan ditangkap, ditanyai, dan disiksa agar mau mengaku sebagai penyihir. Mereka dituduh melakukan hal-hal yang mustahil, seperti bermain bola dengan bayi, memanggil badai, hingga membuat ramuan untuk mencelakai orang lain. Banyak dari “pengakuan” itu sebenarnya lahir dari rasa sakit dan ketakutan, bukan dari kebenaran. Namun pada masa itu, keyakinan terhadap sihir begitu kuat, dan siapa pun yang berbeda bisa dengan mudah dicurigai sebagai pelaku kejahatan.

Triora saat itu berada di bawah kekuasaan Republik Genoa, salah satu negara kota kuat di Italia. Ketika berita tentang kekerasan dan penyiksaan di desa itu sampai ke Senat Genoa, pemerintah pusat akhirnya turun tangan. Mereka menghentikan sebagian besar proses pengadilan dan menyelamatkan banyak perempuan dari hukuman mati. Tindakan ini tidak hanya mengakhiri tragedi, tetapi juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh politik dalam menentukan nasib seseorang pada masa itu.

Lihat Juga :  Letkol Untung Syamsuri; Bintang yang Jatuh di Malam Penuh Kelam

Salah satu blog dari situs e-borghin mencatat bahwa intervensi ini menjadi salah satu langkah langka di masa itu, karena banyak wilayah Eropa justru membiarkan perburuan penyihir berlanjut tanpa kendali.

Namun, akar legenda Triora ternyata jauh lebih tua dari kisah pengadilan itu sendiri. Sejak zaman prasejarah, wilayah ini dikenal sebagai tempat yang erat kaitannya dengan kepercayaan kuno. Penduduk awal Triora memuja Dewi Ibu yang disebut Baubo, lambang kesuburan dan perlindungan.

Saat agama Kristen masuk, tradisi lama ini dianggap berbahaya. Figur perempuan yang dulu dihormati berubah menjadi sosok yang ditakuti, dan dari sinilah lahir cerita tentang “baggiure”, sebutan lokal untuk para penyihir. Menurut penjelasan dari Pergeseran makna ini mencerminkan benturan antara kepercayaan pagan dan dogma gereja yang mendominasi masyarakat abad pertengahan.

Lihat Juga :  Sisi Lain Nazi: Studi Mistis dan Proyek Penyihir SS

Sebelum perburuan penyihir terjadi, masyarakat Triora sudah hidup dalam suasana yang penuh rasa takut. Gereja-gereja tua menampilkan lukisan tentang neraka dan hukuman, menggambarkan penderitaan manusia yang tersiksa oleh setan. Lukisan itu menanamkan rasa takut dalam diri warga agar mereka patuh pada ajaran gereja. Tak hanya itu, banyak orang juga percaya bahwa roti yang mereka makan telah terkontaminasi jamur beracun yang menyebabkan halusinasi. Dari sinilah muncul cerita bahwa mereka melihat penyihir di malam hari atau mendengar bisikan aneh dari hutan sekitar desa.

Ketika tahun berganti ke 1588, pengadilan Inkuisisi akhirnya dimulai, dan ketegangan di Triora mencapai puncaknya. Salah satu yang paling terkenal adalah Ca’ de baggiure, yang berarti “Rumah Para Penyihir”. Di tempat itu, banyak perempuan menderita siksaan berat. Beberapa meninggal karena tidak tahan, seperti Isotta Stella, seorang bangsawan yang tewas di bawah tekanan penyiksaan. Lainnya memilih mengakhiri hidup sendiri daripada terus disiksa.

Lihat Juga :  Asal Usul Halloween, Ritual Kuno yang Menjadi Tradisi Populer Dunia Barat

Situasi ini semakin memburuk ketika seorang pejabat dari Genoa, Giulio Scribani, datang dan memperluas perburuan hingga ke desa-desa sekitar. Empat orang dieksekusi mati sebelum akhirnya pemerintah Genoa memerintahkan agar semuanya dihentikan pada tahun 1589. Tindakan Scribani ini menjadi salah satu alasan mengapa Triora dikenal luas sebagai pusat “pengadilan penyihir” paling kejam di Italia.

Meskipun pengadilan berakhir, kisah tentang para penyihir Triora tidak ikut lenyap. Banyak warga percaya roh mereka masih gentayangan di sekitar desa, terutama di daerah bernama Cabotina, yang konon menjadi tempat para penyihir melakukan ritual.

Hingga awal abad ke-20, orang tua di Triora masih memperingatkan anak-anak agar tidak keluar rumah setelah matahari terbenam. Cerita tentang penampakan, bayangan misterius, dan kejadian ganjil terus hidup dari generasi ke generasi. Bahkan seorang penduduk lokal bernama Sandro Oddo, yang lahir di Triora, pernah mengatakan bahwa penyihir masih ada di sana, bukan dalam bentuk yang menakutkan seperti di dongeng, melainkan sebagai orang-orang yang membawa energi negatif dan keburukan tersembunyi.

Kini, Triora memilih untuk berdamai dengan masa lalunya. Alih-alih menolak sejarah itu, desa ini justru menjadikannya bagian dari identitas dan daya tarik wisata. Museum Etnografi dan Sihir berdiri di pusat desa, menyimpan artefak, dokumen, dan kisah tentang pengadilan penyihir. Setiap tahun, terutama menjelang Halloween, Triora dipenuhi pengunjung yang ingin merasakan suasana mistisnya. Triora kini dikenal bukan hanya karena kisah kelamnya, tetapi juga karena kemampuannya mengubah luka sejarah menjadi kekuatan budaya. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos