JAKARTA | Priangan.com – Selasa, 12 Mei 1998, sebuah tragedi kelam terjadi di Indonesia. Empat mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan Hafidin Royan, harus meregang nyawa akibat tembakan aparat keamanan saat melakukan aksi damai untuk menuntut reformasi. Peristiwa ini tentu saja menjadi preseden buruk institusi Polri yang sampai saat ini masih dikenang.
Tragedi Trisakti bermula ketika para mahasiswa geram dengan rezim Soeharto, dimana selama 32 tahun berkuasa, ia dikenal represif, otoriter, dan banyak terjadi kasus korupsi. Amarah para mahasiswa kian memuncak tatkala Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1997.
Kondisi ekonomi semakin terpuruk. Nilai tukar rupiah terhadap dollar anjlok. Dari Rp.2380 menjadi Rp.16.650. Kondisi ini tentu saja memberikan efek domino terhadap harga-harga kebutuhan pokok. Semua serba naik.
Akhirnya, Universitas Trisakti pun kala itu mengambil sikap. Ribuan massa yang terdiri dari para mahasiswa dan dosen dari Universitas tersebut berkumpul dan melakukan aksi long march ke Gedung DPR-RI. Sayang, belum juga tiba di depan gedung wakil rakyat, mereka diadang oleh barikade kepolisian di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat.
Menjelang sore, aksi itu akhirnya pecah lantaran ada sejumlah anggota polisi yang mencemooh massa hingga memantik emosi mereka. Alih-alih berupaya kembali meredam suasana, aparat keamanan kala itu malah membabi buta melakukan tindakan kekerasan. Selain memukul, mereka juga menembakan gas air mata.
Di tengah suanasa yang panas itu, kemudian terdengar suara rentetan tembakan dari barikade polisi. Sontak, massa aksi pun mulai panik. Mereka berlarian dan memutuskan untuk mundur. Sampai akhirnya, tercatat ada empat mahasiswa yang terkena tembakan tersebut.
Meski aparat menyangkal kalau mereka tidak menggunakan peluru tajam, namun hasil otopsi korban menunjukkan fakta bahwa peluru yang menembus badan mereka adalah peluru berkaliber 5,56 mm. Sebuah peluru senjata laras panjang jenis SS-1 yang biasa digunakan oleh Satuan Brimob dan Kopassus.
Adanya peristiwa itu, tentu saja memantik gelombang protes yang lebih besar. Sejumlah aksi besar-besaran pun terjadi sehari pasca kejadian ini. Tepat pada tanggal 21 Mei 1998, gelombang protes tersebut membuahkan hasil. Soeharto akhirnya memutuskan untuk lengser.
Kendati begitu, terkait siapa dalang di balik kematian empat mahasiswa Trisakti, hingga kini tak pernah terungkap. Kasus itu hanya menjadi bagian dari catatan panjang tindakan represifitas aparat terhadap massa aksi demonstrasi.
Ironisnya, sikap represif aparat seolah sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Meski sudah puluhan tahun berlalu, tindakan semena-mena itu masih marak terjadi. Dalam sejumlah aksi demonstrasi, tak jarang kalau massa aksi menjadi korban kekerasan aparat penegak hukum. (ldy)