TOKYO | Priangan.com – Jumat, 30 Juli 1971, langit di atas Prefektur Iwate, Jepang, menjadi lokasi tragedi udara yang memilukan. Kala itu, satu pesawat komersil dan satu pesawat militer tak sengaja bertabrakan. Peristiwa ini berhasil mengubah wajah penerbangan di negara tersebut.
Semuanya bermula ketika pesawat Boeing 727-281 milik All Nippon Airways (ANA) dengan nomor penerbangan 58 lepas landas dari Bandara Chitose di Sapporo menuju Bandara Haneda, Tokyo. Pesawat tersebut mengangkut sedikitnya 155 penumpang serta tujuh orang awak.
Di saat yang bersamaan, dua jet tempur seri F-86F dari Angkatan Udara Jepang (JASDF) tengah melakukan latihan udara. Ironisnya, pada saat itu salah satu jet tempur yang dikendalikan oleh seorang taruna muda bernama Yoshimi Ichikawa beserta instrukturnya, Kapten Tamotsu Kuma, berada di ketinggian dan jalur yang sama dengan pesawat komersial Boeing 727-281.
Kala itu, Kapten Tamotsu menyadari keberadaan Boeing 727-281 dan memberikan perintah kepada Ichikawa untuk segera keluar dari jalur tersebut dan menghindar. Sayangnya. Instruksi tersebut tidak segera digubris. Dalam hitungan detik, sayap kanan jet tempur menghantam bagian ekor pesawat Boeing.
Rusaknya ekor pesawat tersebut membuatnya tidak terkendali. Konon, pesawat tersebut pecah di udara sebelum akhirnya jatuh di sekitar wilayah Shizukuishi. Seluruh penumpang dan awak pesawat dinyatakan tewas.
Hal yang sama terjadi pada pesawat tempur F-86F. Setelah mengalami tabrakan, pesawat tidak bisa dikendalikan dan terbang liar di udara. Walau demikian, Ichikawa dan Kapten Tamotsu berhasil selamat berkat kursi pelontar.
Banyak penumpang dalam pesawat ANA merupakan keluarga mantan tentara Jepang yang gugur dalam Perang Dunia II dan sedang dalam perjalanan menuju acara ziarah. Pilot ANA, Saburo Kawanishi, adalah kapten berpengalaman dengan ribuan jam terbang. Tak ditemukan kesalahan dari pihak sipil dalam insiden ini.
Investigasi menyimpulkan bahwa kecelakaan terjadi karena kegagalan pilot militer dalam menghindari tabrakan. Kurangnya pengalaman taruna, keterlambatan respons, serta minimnya koordinasi antara sektor militer dan sipil menjadi sorotan publik. Selain menguak celah dalam prosedur pengawasan udara, insiden ini juga memicu kritik tajam terhadap kebijakan penerbangan di Jepang.
Setelah kejadian, sejumlah pejabat tinggi, termasuk Kepala Staf JASDF, memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawab. Di pengadilan, Ichikawa dibebaskan dari dakwaan pidana, sedangkan Kuma dijatuhi hukuman percobaan. Reaksi publik dan tekanan media mendorong pemerintah melakukan evaluasi besar-besaran terhadap sistem lalu lintas udara nasional.
Insiden ini pun akhirnya menjadi titik balik dalam regulasi penerbangan Jepang. Langkah-langkah seperti pemisahan wilayah latihan militer dari jalur penerbangan komersial, peningkatan standar pelatihan militer, serta koordinasi lebih ketat antara otoritas sipil dan militer mulai diberlakukan tak lama setelah kejadian. (wrd)