Tabuik, Ritual Duka yang Menyatukan Warga dan Warisan Sejarah Islam di Pariaman

PARIAMAN | Priangan.com – Setiap tahun, masyarakat Kota Pariaman, Sumatera Barat, menggelar sebuah tradisi unik yang penuh makna spiritual dan budaya, yaitu upacara Tabuik.

Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan dan peringatan atas wafatnya Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW, dalam peristiwa tragis Perang Karbala pada 10 Muharam tahun 61 Hijriah. Peristiwa yang memilukan bagi umat Islam, terutama kalangan Syiah, ini menjadi sumber inspirasi utama dari upacara tabuik yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Upacara tabuik pertama kali diselenggarakan di Pariaman pada tahun 1824 Masehi oleh para pendatang asal India Selatan yang dikenal sebagai bangsa Cipei atau Keling, yang menganut Islam Syiah.

Dalam tradisi mereka, mengenang syahidnya Imam Husein adalah ritual sakral yang penuh dengan makna kesedihan dan pengorbanan.

Tabuik sendiri berasal dari bahasa Arab “tabut” yang berarti peti, dan dalam konteks ini melambangkan usungan jenazah Imam Husein. Seiring waktu, tradisi ini menyebar ke berbagai wilayah pesisir barat Sumatra seperti Bengkulu, Meulaboh, Barus, dan Natal. Namun, kini hanya masyarakat Pariaman dan Bengkulu yang masih secara aktif mempertahankannya.

Rangkaian upacara tabuik berlangsung selama sepuluh hari, dimulai pada 1 hingga 10 Muharam. Lima hari pertama diisi dengan kegiatan spiritual dan simbolik, sedangkan lima hari sisanya dipakai untuk mempersiapkan secara fisik keranda tabuik yang menjulang setinggi 7 hingga 8 meter.

Prosesinya diawali dengan pengambilan tanah dari dasar sungai yang dilakukan oleh seorang pawang dibantu empat orang anggota. Tanah itu kemudian diletakkan di tempat khusus yang disebut pusara, sebagai lambang makam Imam Husein.

Selama prosesi berlangsung, masyarakat akan menyaksikan berbagai tahapan seperti pengambilan dan pemancungan batang pisang, maarak panja (arak-arakan jari-jari), maarak sorban, hingga maatam, yaitu ungkapan kesedihan mendalam yang biasanya dilakukan dengan ratapan.

Lihat Juga :  Catherine the Great, Putri Jerman yang Jadi Ratu Revolusioner Rusia Pada Masanya

Puncaknya terjadi pada 10 Muharam, saat keranda tabuik yang telah selesai dihias diarak keliling kota dan digoyang-goyangkan atau dioyak oleh para pemuda yang disebut anak tabuik. Goyangan tabuik diiringi dengan teriakan “hoyak Hosen!” yang menggema di sepanjang jalan menuju pantai.

Salah satu elemen yang mencolok dalam perayaan ini adalah musik tabuik, terdiri dari satu buah tasa dan enam buah gendang. Irama yang dimainkan diyakini memiliki kekuatan magis yang memicu semangat dan bahkan pertikaian antarpeserta, meski konflik tersebut tidak berlarut-larut dan dianggap sebagai bagian dari ritus semata. Bahkan dahulu, perkelahian atau cakak antar rombongan tabuik menjadi daya tarik tersendiri hingga akhirnya diatur agar tidak menimbulkan kericuhan.

Lihat Juga :  Kisah Nyata Politisi yang Berpura-pura Mati Demi Lari Dari Skandal

Setibanya di pantai menjelang magrib, kedua tabuik, yaitu Tabuik Pasar dan Tabuik Subarang, diarak hingga ke laut dan dibuang secara simbolis. Momen ini melambangkan kembalinya arwah Imam Husein kepada Sang Khalik dan menutup seluruh rangkaian acara.

Tabuik yang digotong bersama-sama lalu dilepaskan ke laut, seolah-olah menaiki burak, makhluk bersayap dalam mitologi Islam untuk terbang menuju langit.

Tradisi tabuik bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi telah menjelma menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Pariaman. Upacara ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari alim ulama, pemuka adat, pawang, pemuda, hingga pekerja seni.

Para pemuda yang tergabung dalam kelompok anak tabuik biasanya mengenakan pakaian seragam berwarna kuning, melambangkan kebesaran dan semangat pengabdian terhadap warisan leluhur.

Selama perjalanan sejarahnya, pelaksanaan tabuik sempat mengalami pasang surut. Pernah dihentikan selama lebih dari satu dekade setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya antara tahun 1969 hingga 1980, tabuik akhirnya kembali diselenggarakan dan mendapat perhatian sebagai salah satu aset budaya penting. Bahkan pada masa kolonial Belanda, ritual ini sempat dimanfaatkan untuk kepentingan politik adu domba.

Lihat Juga :  Sejak Kapan Industri Batik Tumbuh di Kota Tasik?

Kini, upacara tabuik tak hanya bermakna religius, tetapi juga menjadi daya tarik wisata budaya yang mendatangkan banyak pengunjung dari dalam maupun luar negeri. Masyarakat Pariaman terus menjaga dan melestarikan tradisi ini sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah, nilai-nilai keagamaan, serta simbol solidaritas dan kebersamaan dalam kehidupan sosial mereka. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos