TASIKMALAYA | Priangan.com – Gabungan organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat di Kota Tasikmalaya, seperti LSM Padi, Ormas Gibas, Sipatutat, Padepokan Padi, dan Eksponen 96, resmi melayangkan laporan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kamis (23/10/2025).
Mereka menuding Pemerintah Kota Tasikmalaya melakukan pembiaran terhadap berdirinya sejumlah bangunan di atas badan sungai—sebuah pelanggaran nyata terhadap tata ruang dan undang-undang lingkungan hidup.
“Wali kota tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau tidak berani bertindak, berarti ikut membiarkan pelanggaran hukum terjadi di depan mata,” tegas Ketua Ormas Gibas Resort Kota Tasikmalaya, Agus Ridwan, melalui pesan yang dikirim kepada wartawan.
Laporan tersebut telah diterima oleh staf Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PUPR, Dede, yang berjanji akan segera mengirim tim ke Tasikmalaya untuk melakukan pemeriksaan lapangan.
Bangunan yang dipersoalkan tersebar di beberapa titik, antara lain kawasan Panjunan, RS Jantung, Toko Muara, dan sejumlah lokasi di Cihideung. Di tempat-tempat itulah, aliran sungai dilaporkan tertutup permanen oleh tembok dan pondasi bangunan baru.
Namun bagi para pelapor, ini bukan sekadar soal bangunan. Ini tentang arah pembangunan kota yang kehilangan akal sehat.
Ketua Peradaban Demokrasi Indonesia (PADI), Iwan Restiawan, menyebut pembangunan di Tasikmalaya kini dikendalikan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, bukan oleh visi lingkungan yang berkelanjutan.
“Atas nama investasi, sungai-sungai di Tasikmalaya kini menjadi korban proyek semu — proyek yang hanya menguntungkan segelintir orang. Sungai yang semestinya dijaga, justru diperkosa oleh syahwat oligarki,” ujarnya tajam.
Iwan menambahkan, kebijakan pembangunan semacam ini jelas menabrak banyak regulasi: mulai dari Pasal 33 UUD 1945, UU Nomor 38 Tahun 2011 tentang Lingkungan Hidup, UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, hingga Permen PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang garis sempadan sungai.
Ironisnya, Pemerintah Kota Tasikmalaya memilih diam. Tak satu pun pejabat berani bersuara, meski pelanggaran fisik tampak di depan mata. Karena itulah para aktivis kini melangkah ke pusat, mencari keadilan di luar tembok birokrasi daerah.
“Telah nyata kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh tangan manusia,” kutip Iwan dari QS Ar-Rum: 41, menegaskan pesan moral bahwa pembangunan tanpa etika hanya akan membawa bencana.
Gabungan ormas dan LSM itu kini mendesak Kementerian PUPR dan bahkan Presiden RI untuk turun langsung ke Tasikmalaya. Mereka menuntut dua hal: sanksi bagi pejabat yang lalai, dan pembongkaran bangunan yang berdiri di atas aliran sungai.
“Keadilan lingkungan tidak boleh tunduk pada modal dan kedekatan politik. Jika hukum ditegakkan, maka bangunan yang menutup sungai harus dibongkar,” pungkasnya. (yna)

















