TASIKMALAYA | Priangan.com – Bangunan itu masih berdiri megah di tengah kota. Bertuliskan “SMK Perwari”, dari luar tampak rapi dan bersih. Tapi begitu memasuki halaman dan ruang kelasnya, suasana berubah senyap. Tak terdengar suara guru mengajar atau siswa belajar. Hanya kursi-kursi kosong yang tersusun rapi, seolah menanti tamu yang tak kunjung datang.
Kondisi ini menjadi potret memprihatinkan dari krisis yang dialami sekolah-sekolah swasta di Kota Tasikmalaya. Di tengah semangat membangun pendidikan, sejumlah sekolah kini bergulat dengan minimnya jumlah siswa baru. SMK Perwari, yang telah berdiri sejak lebih dari 60 tahun lalu, kini hanya menerima 10 siswa baru untuk tahun ajaran 2025/2026. Padahal sebelumnya, setiap tahun sekolah ini mampu menjaring 40 sampai 50 siswa.
Burhanudin, Kepala SMK Perwari, menyebut krisis ini bukan karena sekolah tidak berbenah. Bahkan, kata dia, fasilitas praktik seperti jurusan Tata Boga dan Tata Busana terus diperbarui agar mampu melahirkan lulusan siap kerja. Namun, tekanan yang datang dari luar sekolah dinilai sangat berat. Salah satunya adalah kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengizinkan sekolah negeri mengisi satu kelas hingga 50 siswa. Kebijakan itu, menurut Burhanudin, membuat sekolah negeri menyerap hampir seluruh calon siswa, bahkan beberapa yang sudah lebih dulu mendaftar ke sekolah swasta.
Burhanudin mengaku tak bisa berbuat banyak ketika beberapa calon siswa yang sudah mendaftar di sekolahnya memilih menarik berkas untuk pindah ke negeri. “Dengan kuota 50 orang per kelas di negeri, mereka masih bisa menampung hingga gelombang terakhir. Sementara kami sudah seleksi sejak awal, malah siswanya berpindah,” katanya, Kamis (17/7/2025).
Ketua MKKS SMK Kota Tasikmalaya, Japar Solihin, mengkritisi langsung keputusan gubernur tersebut. Menurutnya, kebijakan itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni Permendikbudristek Nomor 47 Tahun 2023, yang menyebutkan jumlah maksimal siswa per rombel adalah 36 orang. “Gubernur boleh punya niat baik ingin mengurangi anak putus sekolah, tapi caranya harus taat regulasi. Ini malah menyusahkan banyak sekolah swasta yang selama ini justru menjadi tumpuan negara saat negeri belum mampu,” ujarnya.
Tak hanya soal aturan, Japar juga menyoroti kualitas proses belajar yang berpotensi turun jika jumlah siswa dalam satu kelas melebihi kapasitas. “Rata-rata ruang kelas kita di Indonesia hanya mampu menampung 36 siswa. Kalau dipaksa 50, bukan hanya sesak tapi pembelajaran juga tak optimal. Ujung-ujungnya kualitas pendidikan yang jadi korban,” tambahnya.
Dampak kebijakan ini dirasakan bukan hanya oleh SMK Perwari. Di SMK Yapsipa, misalnya, yang telah berdiri sejak 1985, kondisi murid baru tak lebih menggembirakan. Hingga pertengahan Juli 2025, hanya 32 calon siswa yang mendaftar. Padahal, pendaftaran sudah dibuka sejak Desember 2024. Muhammad Syihabudin Riyadi, operator sekolah itu, mengungkapkan bahwa beberapa calon siswa bahkan sudah menyatakan akan masuk ke Yapsipa, namun akhirnya pindah ke sekolah negeri karena diminta memenuhi kuota kelas negeri yang masih kosong.
Jumlah siswa yang terus menurun membuat gedung SMK Yapsipa yang bertingkat tiga itu banyak tak digunakan. Dulu pernah menampung ratusan siswa, kini ruang-ruangnya sunyi dan tak berpenghuni.
Cerita pilu juga datang dari SMA Pasundan 2 Tasikmalaya. Sekolah yang berdiri sejak 1986 itu pernah berjaya, dengan jumlah murid mencapai lebih dari 900 orang. Namun kini, hanya delapan siswa yang mendaftar untuk tahun ajaran baru. Kepala sekolah, Darus Darusman, menyebut kebijakan zonasi, bertambahnya sekolah negeri, dan keputusan gubernur soal rombel telah membuat sekolah swasta seperti miliknya nyaris kolaps. “Kami punya 22 ruang kelas. Dulu semua penuh. Sekarang hanya beberapa yang dipakai,” katanya.
Jumlah siswa di kelas 3 tercatat hanya 23 orang, kelas 2 ada 21, dan calon siswa baru hingga pertengahan Juli baru delapan. Dengan jumlah guru sebanyak 20 orang dan pegawai TU dua orang, beban operasional tak sebanding dengan pendapatan. Namun Darus menolak menyerah. Di dinding sekolahnya tertulis grafiti penuh semangat: “Pasundan Never Die!” Sebuah semboyan yang terus ia pegang di tengah ancaman runtuhnya sekolah swasta.
Sebagian sekolah bahkan telah tutup total. SMK Periwatas di Jalan Ahmad Yani resmi menghentikan aktivitas belajar mengajar sejak 2023 karena jumlah siswanya tidak lagi mencukupi. Puluhan siswanya kemudian dipindahkan ke sekolah lain. Kondisi serupa dialami SMK Pasundan 2 dan SMA Siliwangi yang berada di Jalan Saptamarga. Gedung-gedung itu kini kosong dan tak terurus. Bahkan halaman yang dulu digunakan upacara kini dijadikan dapur gizi oleh pemerintah.
Meski tak lagi aktif sebagai sekolah, visi dan misi yang terpampang di tembok bangunan sekolah-sekolah tersebut masih bisa dibaca. Seolah menjadi saksi bisu tentang sebuah lembaga pendidikan yang pernah berjasa, kini tinggal kenangan.
Yang paling menyedihkan, dari keruntuhan sekolah ini, para guru honorer pun ikut terhempas. Mereka adalah kelompok yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan swasta. Namun dengan jumlah siswa terus berkurang, ancaman pemutusan hubungan kerja tak bisa dihindari. “Kalau muridnya tinggal sepuluh, bagaimana kami bayar guru?” ujar Burhanudin.
Kini, para pengelola sekolah swasta hanya bisa berharap pada kebijakan yang lebih adil. Bukan soal meminta dana atau keistimewaan. Mereka hanya ingin diberi ruang untuk tetap hidup. Karena dalam sejarah pendidikan Indonesia, peran sekolah swasta sangat besar, terutama di masa ketika negara belum mampu menjangkau semua daerah.
“Negara tidak bisa sendiri. Sekolah swasta itu mitra, bukan kompetitor,” kata Japar Solihin. Jika tak ada koreksi dalam kebijakan, sekolah-sekolah swasta bukan hanya akan terpinggirkan, tapi perlahan-lahan akan menghilang dari peta pendidikan nasional. Dan ketika itu terjadi, yang hilang bukan hanya bangunan atau yayasan, tapi juga mimpi ribuan anak yang ingin bersekolah. (yna)