Historia

Sejak Kapan Industri Batik Tumbuh di Kota Tasik?

Dokumen Pribadi

KOTA TASIKMALAYA | E – Batik adalah salah satu warisan budaya yang telah diakui oleh dunia. Di Kota Tasikmalaya sendiri, batik tak hanya menjadi simbol kebudayaan saja, tetapi juga jadi salah satu produk industri kreatif yang menggerakan ekonomi masyarakat lokal.

Pada awal abad ke 20, Kota Tasik bahkan menjadi salah satu sentra industri batik di Priangan. Kala itu, para pengrajin batik banyak tersebar di sejumlah kawasan, seperti Buninagara, Burujul, Cipedes, Gudang Jero, Bojong Kaum, Gudang Pasantren, Sayuran, hingga ke Panglayungan.

Lantas, sejak kapan industri batik ini tumbuh di Kota Tasik?

Di masa silam, masyarakat pribumi sudah mulai aktif membatik sejak akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Secara tidak langsung, kegiatan membatik adalah dampak dari adanya peperangan kerajaan yang terjadi di Jawa Tengah.

Kala itu, kondisi konflik yang kian memburuk membuat banyak pengrajin batik di Jawa Tengah bermigrasi ke Jawa Barat (Jabar). Selama menetap di Jabar, mereka tetap memproduksi dan berdagang batik.

Seiring berjalannya waktu, transfer keterampilan pun mulai terjadi antara para pengrajin batik Jawa Tengah dengan masyarakat pribumi. Adanya estafet keterampilan ini, memengaruhi motif batik asal Kota Tasikmalaya, dimana motif-motifnya mempunyai kemiripan dengan motif batik buatan Jawa Tengah.

Sejak saat itu, tak sedikit dari kalangan pribumi yang memutuskan untuk menekuni usaha batik sebagai mata pencaharian mereka. Bahkan, batik juga kala itu sampai menjadi salah satu komoditas penting dalam urusan perdagangan di Kota Tasikmalaya.

Kendati begitu, pada tahun 1930-an, industri batik di Kota Tasikmalaya harus menghadapi permasalahan yang cukup pelik. Adanya krisis ekonomi dunia, membuat daya beli masyarakat melemah. Belum lagi para pengrajin batik kala itu kesulitan untuk mendapatkan kain mori sebagai bahan baku batik.

Tonton Juga :  Catherine dari Aragon; Ratu yang Dikhianati, Namun Tak Pernah Terkalahkan

Sebagai respons atas kondisi ini, sejumlah pengusaha batik pun mulai melakukan gerakan dan menghimpun diri dan membentuk koperasi yang diberinama Koperasi Pangroyong. Sayangnya, koperasi ini kala itu tak dapat mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Sampai akhirnya, tepat pada tahun 1938, para pengrajin kembali melakukan pertemuan dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk sebuah koperasi baru. Lahirlah Koperasi Mitra Batik.

Koperasi ini berbeda dengan koperasi sebelumnya. Koperasi Mitra Batik lebih digunakan sebagai alat untuk melobi para pejabat di Departement van Economische agar diperbolehkan membeli kain mori langsung dari importir. Singkat cerita, berkat adanya upaya-upaya lobi ini pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengizinkan koperasi tersebut membeli kain mori langsung dari importir.

Pasca adanya kemudahan akses untuk mendapat kain mori ini pun, industri batik di Kota Tasikmalaya secara perlahan kembali bergeliat, bahkan kala itu para pengrajin yang tergabung dalam Koperasi Mitra Batik sampai mampu mendirikan kantor dan gudang produksi sekaligus penyimpangan baru di Jalan Bandung-Tasikmalaya atau Jalan R.E Martadinata saat ini. (ldy)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: