TOKYO | Priangan.com – Senin, 6 Agustus 1945, sebuah peristiwa kelam terjadi di Jepang. Dua kota, Hiroshima dan Nagasaki, luluh lantak dalam hitungan detik oleh ledakan dahsyat bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat. Sejarah mencatat tragedi ini sebagai titik balik yang menggiring Jepang menuju kekalahan dalam Perang Dunia II. Namun, jauh di balik gemuruh ledakan dan awan cendawan yang menjulang tinggi ke langit itu, ada satu kisah yang konon jadi penyebab mengapa bom itu sampai dijatuhkan.
Pasca Konferensi Potsdam, Sekutu menyampaikan ultimatum kepada Jepang. Mereka meminta Jepang menyerah tanpa syarat atau menghadapi kehancuran total. Pesan itu jelas, keras, dan penuh tekanan.
Ketika dimintai tanggapan atas ultimatum tersebut, Perdana Menteri Jepang saat itu, Kantaro Suzuki, memilih menggunakan satu kata: mokusatsu. Dalam bahasa Jepang, kata ini menyimpan makna yang luas, tergantung pada nada, konteks, dan situasi penggunaannya.
Secara harfiah, mokusatsu dapat diartikan sebagai “mengabaikan dengan penghinaan” ataupun “menahan komentar untuk sementara.” Penafsiran pertama bernuansa keras, seakan menolak mentah-mentah tawaran damai. Sementara yang kedua, diartikana sebagai belum memutuskan, menanti waktu yang tepat. Tokyo kala itu kemungkinan besar bermaksud menyampaikan bahwa Jepang belum siap memberikan jawaban final. Namun, AS tidak menafsirkan demikian.
Penerjemah dari pihak Sekutu tampaknya memilih makna yang paling tajam. Mokusatsu dibaca sebagai penolakan dengan nada menghina. Bagi Washington, itu cukup sebagai bukti bahwa Jepang tidak tertarik untuk menyerah. Maka keputusan pun diambil. Dalam beberapa hari, dua bom nuklir, Little Boy dan Fat Man, meluncur ke arah timur, menyasar jantung kota Hiroshima dan Nagasaki.
Hiroshima porak-poranda. Tercatat, tak kurang dari 140 ribu jiwa melayang, sebagian besar adalah warga sipil yang tak tahu-menahu soal diplomai.
Tiga hari kemudian, giliran Nagasaki yang dilanda kehancuran. Fat Man, bom yang jauh lebih besar dari pendahulunya, menciptakan gelombang panas dan radiasi yang mematikan hingga radius puluhan kilometer. Sekitar 90 ribu orang mnjadi korban. Dunia pun bungkam. Jepang akhirnya menyerah.
Seandainya makna mokusatsu dimaknai sesuai maksud awalnya, mungkin sejarah akan bercerita lain. Mungkin diplomasi masih sempat menemukan ruang untuk bernafas. Mungkin juga bom tidak akan pernah dijatuhkan. Dan mungkin ratusan ribu jiwa itu masih sempat melihat mentari pagi. (wrd)