TIONGKOK | Priangan.com – Dalam catatan sejarah Tiongkok, Puyi adalah nama yang tak terlupakan. Ia adalah kaisar terakhir dari Dinasti Qing dan pemimpin terakhir Kekaisaran Tiongkok yang berdiri sebelum Revolusi Xinhai pada tahun 1912. Namun, takdir Puyi tidak berhenti di situ. Dalam sebuah kisah yang penuh ironi dan kompleksitas politik, ia diangkat menjadi Kaisar Kangde dari Kekaisaran Manchuria Besar, Manchukuo, pada tahun 1934—sebuah peran yang lebih mirip boneka daripada pemimpin yang berdaulat.
Setelah Dinasti Qing runtuh, Puyi terpaksa menjalani kehidupan yang jauh dari kemewahan istana, hidup dalam pengasingan di Tianjin. Namun, situasi ini berubah ketika Jepang, yang telah menginvasi Manchuria pada tahun 1931, merekrutnya untuk memainkan peran sebagai pemimpin Manchukuo. Proyek ini diluncurkan untuk menegaskan kontrol Jepang atas wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari Republik Tiongkok. Pada Maret 1932, Puyi dilantik sebagai kepala eksekutif negara baru itu, namun perannya segera berubah menjadi kaisar ketika Manchukuo secara resmi diakui.
Pemberitaan tentang pengangkatannya menjadi kaisar dimuat di halaman depan New York Times, dengan judul yang mencolok: “Puyi Naik Takhta Kekaisaran Manchukuo dengan Ritual yang Berusia Beberapa Abad.” Judul ini mencerminkan harapan Jepang yang telah mengatur pengangkatan Puyi, meskipun banyak pihak meragukan legitimasi Manchukuo sebagai negara yang merdeka.
Puyi, yang pernah memimpin Tiongkok dengan kekuasaan mutlak, kini terjebak dalam skenario yang lebih besar, di mana ia digunakan sebagai simbol oleh Jepang. Meskipun Jepang berupaya untuk mengklaim bahwa pembentukan Manchukuo adalah hasil dari keinginan penduduk setempat, hasil penyelidikan Liga Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa negara ini sebenarnya didirikan dengan dukungan militer Jepang. Penemuan ini menguatkan anggapan bahwa Manchukuo adalah negara boneka, bukan sebuah entitas yang diakui secara internasional.
Dengan protes dari Tiongkok yang semakin kuat dan pemungutan suara untuk mengecam agresi Jepang, Jepang memilih untuk menarik diri dari Liga. Dalam konteks ini, Puyi dijadikan simbol dari kekaisaran baru yang seolah-olah berdiri atas dasar keinginan rakyat Manchukuo, meskipun kenyataannya sangat berbeda.
Pada suatu pagi yang dingin, Puyi melaksanakan upacara pelantikan sebagai Kaisar Manchukuo. Mengenakan jubah sutra yang menggambarkan tradisi Dinasti Qing, ia berupaya untuk merangkul warisan masa lalu sambil menjalani peran baru yang dipaksakan. Perjalanan menuju istana ditemani oleh sekitar 70.000 tentara, simbol kekuatan dan pengawasan yang dilakukan Jepang. Dalam pengantaran menuju kekaisaran baru yang lebih bersifat teatrikal daripada fungsional, Puyi menjadi sosok yang menonjol tetapi tidak memiliki kekuasaan nyata.
Kaisar yang semestinya berkuasa kini terperangkap dalam sandiwara yang diatur oleh Jepang. Manchukuo, meskipun berusaha memperkuat klaimnya sebagai negara merdeka, selalu dilihat oleh banyak kalangan sebagai entitas yang tidak sah. Di Tiongkok, nama Manchukuo sering diawali dengan karakter “wei,” yang berarti “palsu,” menekankan bahwa keberadaannya tidak diakui secara resmi.
Ironi terbesar bagi Puyi adalah, meskipun dia diangkat sebagai kaisar untuk ketiga kalinya, ia tetap merupakan agenda bagi kekuatan yang berseteru. Dalam perjalanan sejarahnya, ia dieksploitasi oleh Jepang demi kepentingan politik mereka, kehilangan kendali atas nasibnya sendiri.
Melalui kisah Puyi, kita melihat bagaimana kekuasaan dan identitas dapat terdistorsi dalam konteks politik. Dia adalah simbol dari masa lalu yang berusaha dihidupkan kembali, namun pada saat yang sama, menjadi korban dari ambisi dan ketidakadilan yang lebih besar—sebuah pelajaran tentang sejarah yang terus bergulir. (mth)