Historia

Praktik Hitobashira, Alam dan Bangunan Dibayar dengan Nyawa

Hitobashira no zu oleh Utagawa Yoshikazu, diterbitkan pada tahun 1852, seorang pria yang mempresentasikan rencana kota kepada kaisar di istana bersama para menteri. | Wikimedia Commons

TOKYO | Priangan.com – Ada masa ketika membangun istana bukan hanya soal meletakkan batu dan kayu, melainkan tentang meredakan amarah roh-roh yang tak terlihat. Ada masa ketika kekuatan manusia tak dianggap cukup kuat untuk melawan kemurkaan alam, dan untuk itu, satu-satunya jalan adalah mengorbankan jiwa.

Di Jepang kuno, keyakinan terhadap harmoni alam begitu dalam mengakar. Setiap gunung, sungai, hingga tanah di bawah kaki dipercaya memiliki roh yang bersemayam. Ketika proyek besar dimulai, seperti ketika mendirikan kastel, membangun jembatan, atau menyeberangi laut, mereka meyakini bahwa kekuatan tak kasat mata itu bisa marah. Dan amarah itu bisa datang dalam bentuk banjir, longsor, badai, atau kegagalan bangunan.

Demi menghindari kehancuran, muncullah sebuah praktik yang kini terasa asing, bahkan mengerikan yang dikenal dengan nama ’Hitobashira’, atau yang artinya ‘pilar manusia’.

Dalam praktik ini, seorang manusia biasanya dipilih secara tragis atau sukarela, dikorbankan dan dikubur hidup-hidup di dalam fondasi bangunan. Mereka dipercaya menjadi penjaga abadi yang menenangkan roh-roh tanah dan air, agar proyek itu berdiri kokoh selamanya.

Catatan pertama tentang Hitobashira menyebutkan peristiwa pada awal abad ke-4 Masehi. Saat itu, dua sungai bernama Kitakawa dan Mamuta terus-menerus meluap, membawa kerusakan besar dan korban jiwa.

Kaisar Nintoku, yang memimpin saat itu, mendapat penglihatan dalam mimpinya. Ia diperintahkan untuk mengorbankan dua orang, Kowakubi dari provinsi Musashi dan Koromono-ko dari provinsi Kawachi, agar sungai-sungai itu berhenti meluap.

Kowakubi ditemukan dan dikorbankan dengan dilemparkan ke sungai Kitakawa, disertai doa kepada dewa sungai.

Namun, Koromono-ko berusaha menyelamatkan diri dengan kecerdikannya. Ia membawa dua labu dan menantang dewa untuk menenggelamkannya. Karena labu tetap mengapung, Koromono-ko membuktikan bahwa dewa itu tidak layak menerima pengorbanan, lalu ia dibebaskan.

Tonton Juga :  Sekelumit Aturan Soal Roti pada Masa Perang Dunia II

Cerita-cerita serupa bermunculan di seluruh Jepang. Di desa Aihara, provinsi Buzen, penduduk setiap tahun menderita akibat banjir sungai Yamakuni. Ketujuh komisioner paroki kuil Usa-Hachiman berdoa tanpa henti, namun banjir tetap datang.

Akhirnya mereka memutuskan mengadakan undian. Celana panjang mereka dilempar ke sungai, dan siapa yang celananya tenggelam harus menyerahkan nyawa.

Celana panjang Yuya-danjo Motonobu tenggelam, menandakan dirinya terpilih. Ia pun mengorbankan dirinya. Salah seorang pengikutnya, seorang wanita bernama Tsuru, memohon agar diizinkan mengorbankan diri bersama anaknya, Ichitaro, demi menghormati gurunya. Meskipun permintaan ini ditolak, mereka tetap menyerahkan nyawa mereka kepada dewa sungai. Sejak saat itu, banjir berhenti.

Hitobashira sering kali dikaitkan dengan pembangunan jembatan, terutama di lokasi yang berbahaya.

Salah satu kisah terkenal tercatat dalam Yasutomi-ki pada abad ke-15, tentang seorang wanita yang menggendong anaknya dan secara tragis dikubur hidup-hidup saat pembangunan jembatan di atas sungai Nagara.

Jembatan Matsue Ohashi di muara Sungai Matsue juga diwarnai legenda serupa. Di bawah kepemimpinan Horio Yoshiharu pada era Keichō, para pekerja tak mampu membangun jembatan karena derasnya arus sungai. Batu-batu yang dilempar ke sungai tersapu habis setiap malam.

Akhirnya, seorang pria dikorbankan dan dikubur di dasar sungai, tepat di bawah pilar tengah. Setelah pengorbanan itu, jembatan berdiri kokoh selama lebih dari tiga abad. Bahkan ketika pembangunan jembatan baru dilakukan di akhir abad ke-19, masyarakat setempat ketakutan akan kemungkinan dikorbankannya manusia lagi.

Tak hanya jembatan, kisah Hitobashira juga menghantui perjalanan laut. Kaisar Jimmu, pendiri Kekaisaran Jepang, dikisahkan harus menghadapi badai besar saat menyeberangi lautan dalam ekspedisinya. Untuk menenangkan amukan laut, Ina-ihi-no-mikoto mengorbankan dirinya kepada dewa laut agar kapal kaisar dapat melanjutkan perjalanan.

Tonton Juga :  Ini Tokoh Asli di Balik Karakter Kartun Popeye si Pelaut

Dalam pembangunan istana, praktik serupa juga dilakukan. Istana Maruoka, salah satu yang tertua di Jepang, diyakini berdiri berkat pengorbanan O-shizu, seorang wanita miskin bermata satu. Sebelum dikorbankan, ia meminta agar salah satu anaknya diangkat menjadi samurai. Namun, setelah istana selesai, janjinya tidak ditepati.

Konon, jiwa O-shizu yang dikhianati menyebabkan banjir musiman di sekitar parit istana setiap musim semi, seolah-olah menumpahkan air mata kesedihan. Untuk menenangkan rohnya, masyarakat mendirikan makam kecil di dekat istana.

Seiring berjalannya waktu, terutama pada masa Tokugawa, kisah-kisah Hitobashira semakin banyak diceritakan, meskipun praktik nyatanya mulai berkurang. Semangat untuk menenangkan alam tetap ada, namun bentuknya berubah menjadi ritual simbolis, seperti yang dilakukan di kuil Sakato-no di Kazusa dan kuil Juzo di Noto.

Kini, meskipun pengorbanan manusia telah lama hilang, penghormatan terhadap kekuatan alam masih kuat dalam budaya Jepang. Kisah-kisah ini menjadi pengingat bahwa kemegahan sebuah bangunan sering kali dibangun di atas pondasi kepercayaan, pengorbanan, dan rasa hormat terhadap alam yang tak terlihat. (LSA)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: