JAKARTA | Priangan.com – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyampaikan niatnya untuk memberikan kesempatan kepada para koruptor yang bersedia mengembalikan uang yang telah dicuri dari negara. Dalam pidatonya di depan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir, pada Rabu (18/12), Prabowo menyatakan bahwa pemerintah akan membuka peluang untuk memaafkan mereka yang melakukan tindak pidana korupsi, asalkan uang hasil korupsi tersebut dikembalikan sepenuhnya ke negara.
“Hai, para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong.” ujar Prabowo.
Presiden juga menjelaskan bahwa mekanisme pengembalian dana tersebut bisa dilakukan dengan cara yang lebih tertutup, tanpa diketahui publik, asalkan ada jaminan bahwa uang tersebut benar-benar kembali ke negara. Selain itu, Prabowo juga menekankan pentingnya kewajiban pajak dan kepatuhan terhadap hukum bagi seluruh warga negara.
“Kemudian hai kalian yang sudah terima fasilitas dari bangsa dan negara, bayarlah kewajibanmu. Asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, sudah, kita menghadap masa depan, kita tidak mungkin mundur,” tambahnya.
Namun, pernyataan Prabowo ini mendapat tanggapan kritis dari mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. Mahfud mengingatkan bahwa kebijakan tersebut berisiko melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.
Menurut Mahfud, memberikan pengampunan kepada koruptor bisa dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap tindakan kriminal dan melanggar Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa siapa pun yang ikut serta atau membiarkan terjadinya tindak pidana bisa dijerat hukum.
“Menurut hukum, menurut hukum yang berlaku sekarang itu tidak boleh. Siapa yang membolehkan itu, bisa terkena Pasal 55, berarti ikut menyuburkan korupsi, ikut serta, ya. Pasal 55 KUHP itu,” ucap Mahfud kepada wartawan pada Sabtu (21/12).
“Korupsi itu kan dilarang. Dilarang siapa? Menghalangi penegakan hukum, ikut serta, atau membiarkan korupsi, padahal dia bisa ini (melaporkan), lalu kerja sama. Padahal itu kompleks sekali, komplikasinya akan membuat semakin rusak lah bagi dunia hukum, sebab itu hati-hati lah,” tambahnya
Meskipun Prabowo berhak untuk menyampaikan pandangannya sebagai presiden terpilih, Mahfud mengingatkan agar kebijakan semacam itu tidak diterapkan tanpa mempertimbangkan dampaknya pada sistem hukum dan masyarakat.
“Tapi Pak Prabowo bisa mengatakan apa saja karena dia Presiden yang terpilih, cuma kita juga harus mengingatkan agar tidak terlanjur salah, itu tugas kita, tegas Mahfud.
Kebijakan yang diusulkan oleh Prabowo ini menunjukkan adanya niat untuk memberikan kesempatan bagi pelaku korupsi untuk memperbaiki kesalahan mereka, namun di sisi lain, Mahfud menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas untuk mencegah korupsi yang lebih meluas di masa depan. Kedua pandangan ini mencerminkan dilema antara memberikan kesempatan kedua dan mempertahankan integritas hukum yang kuat di Indonesia. (mth)