TASIKMALAYA | Priangan.com – Penertiban bangunan di atas saluran irigasi Cimulu yang dilakukan Satpol PP bersama UPTD PSDA Wilayah Sungai Citanduy menuai kritik dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Tasikmalaya. Bagi PMII, langkah tersebut terkesan sepihak dan tidak menyentuh akar persoalan tata ruang dan lingkungan yang sesungguhnya.
Ketua PC PMII Kota Tasikmalaya, Ardiana Nugraha, menilai penertiban itu tidak memiliki urgensi dari sisi sosial dan lingkungan. Sebab, bangunan di atas Cimulu yang ditertibkan tidak terbukti menjadi penyebab langsung terjadinya banjir atau kerusakan sungai. Sebaliknya, ia menyoroti bangunan komersial besar yang justru berdiri di atas Daerah Aliran Sungai (DAS) namun hingga kini belum disentuh penegakan hukum.
“Jika pemerintah hanya menindak bangunan kecil sementara membiarkan bangunan besar seperti Asia Plaza berdiri di atas DAS tanpa tindakan apapun, itu artinya negara sudah pandang bulu dalam menegakkan aturan. Ini berbahaya,” kata Ardiana, Selasa (29/7/2025).
Menurutnya, bangunan seperti Asia Plaza seharusnya menjadi prioritas penertiban karena memiliki dampak langsung terhadap sistem drainase kota, terutama di kawasan Jalan HZ Mustofa yang kerap terendam saat hujan deras. Ia menyebut, ketidaktegasan pemerintah daerah dalam menangani pelanggaran besar justru menciptakan ketidakadilan hukum di tengah masyarakat.
“Kami bukan anti terhadap penertiban. Tapi kami menolak penegakan hukum yang separuh hati. Kalau mau menegakkan aturan, tegakkan semua. Jangan hanya yang lemah yang jadi korban,” ujarnya.
Meski mengkritisi aspek sosial dan keberpihakan penertiban, PMII tetap memegang prinsip bahwa hukum harus ditegakkan secara konsisten. Ardiana mengutip adagium klasik dura lex, sed lex – hukum itu keras, namun tetaplah hukum. Menurutnya, pemerintah tidak boleh selektif dalam menindak pelanggaran tata ruang, apapun latar belakang pelanggarnya.
Ia juga menyampaikan hasil kajian hukum yang dilakukan internal PMII, bahwa mendirikan bangunan di atas sempadan sungai merupakan pelanggaran serius. Hal ini diatur dalam Pasal 70 dan Pasal 113 Perda Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2012, serta Pasal 69 dan Pasal 74 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Ancaman hukumnya mencakup pidana penjara hingga tiga tahun dan denda hingga Rp 1 miliar. Bila pelanggaran dilakukan oleh korporasi, ancaman dendanya bahkan bisa bertambah sepertiga kali lipat.
Tidak hanya itu, PMII juga menyinggung aspek lingkungan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perbuatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan pencemaran sungai dapat dikenai pidana penjara antara tiga hingga sepuluh tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. Dalam konteks ini, Ardiana menyebut sudah ada hubungan sebab akibat antara bangunan ilegal di atas DAS dengan banjir musiman yang sering melanda kawasan kota.
“Negara harus menjadikan hukum sebagai panglima, bukan alat kekuasaan. Penegakan aturan tidak boleh bersifat kosmetik atau simbolik semata,” tegasnya.
PMII juga meminta agar Pemerintah Kota Tasikmalaya memiliki sikap yang sejalan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang sudah mulai melakukan normalisasi DAS secara menyeluruh. Menurut Ardiana, Pemkot tak boleh abai dan harus mengikuti langkah tegas tersebut sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik.
“Kalau pusat dan provinsi sudah bergerak, Pemkot tidak boleh diam. Harus ada nafas yang sama. Kalau tidak, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap negara dan hukum,” pungkasnya. (yna)