JAKARTA | Priangan.com – Jepang adalah salah satu negara yang pernah menancapkan taring penjajahannya di Indonesia. Negara itu masuk ke Nusantara pada awal 1942, tak lama setelah berhasil mengalahkan kekuatan kolonial Belanda dalam waktu yang singkat.
Kedatangannya saat itu sempat disambut dengan harapan oleh sebagian rakyat Indonesia, karena membawa pesan persaudaraan dan janji kemerdekaan lewat propaganda Asia Timur Raya. Namun, seiring waktu, wajah asli dari pemerintahan militer Jepang terungkap. Mereka keras, menindas, dan menempatkan kepentingan perang di atas segalanya.
Meski pendudukan Jepang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, dampaknya cukup besar dan masih terasa dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Beberapa kebijakan yang diterapkan ternyata memberi ruang tumbuhnya semangat kebangsaan dan memperkuat fondasi menuju kemerdekaan. Namun, bersamaan dengan itu, penderitaan rakyat pun tidak dapat disangkal.
Salah satu dampak yang cukup mencolok adalah di bidang bahasa. Berbeda dengan Belanda yang membatasi penggunaan bahasa Indonesia, Jepang justru mengizinkan bahasa tersebut digunakan dalam ruang publik, termasuk pendidikan dan media. Kebijakan ini tentu menjadi angin segar bagi tumbuhnya kesadaran nasional, karena bahasa Indonesia perlahan menguat sebagai simbol persatuan.
Pendidikan pun mengalami perubahan, meski tidak sepenuhnya positif. Sistem yang diterapkan memang lebih terstruktur dibanding masa sebelumnya dan membuka akses lebih luas bagi pribumi.
Di balik itu, pendidikan dijadikan alat propaganda dan indoktrinasi militer, dengan kurikulum yang dikontrol ketat dan dipenuhi materi yang mendukung kepentingan Jepang. Namun, secara tidak langsung, pola kedisiplinan dan struktur pendidikan modern mulai dikenal masyarakat.
Di sektor militer, Jepang membentuk sejumlah organisasi semi-kemiliteran seperti PETA, Seinendan, dan Heiho. Tujuannya jelas, mempersiapkan rakyat sebagai bagian dari mesin perang Jepang.
Namun, pelatihan militer yang diberikan justru menjadi bekal penting bagi para pemuda Indonesia dalam menghadapi perjuangan kemerdekaan. Buktinya, ada banyak tokoh militer Indonesia di masa awal kemerdekaan adalah lulusan dari organisasi-organisasi ini.
Selain itu, Jepang juga membuka ruang bagi tokoh-tokoh Indonesia untuk terlibat dalam struktur pemerintahan. Meski kendali tetap berada di tangan militer Jepang, kesempatan ini memberi pengalaman langsung dalam mengelola birokrasi.
Bahkan, pada tahap akhir pendudukannya, Jepang membentuk dua badan penting, yaitu BPUPKI dan PPKI. Lewat kedua badan ini, pemikiran tentang bentuk negara dan dasar ideologi bangsa mulai dirumuskan hingga melahirkan Pancasila dan UUD 1945.
Namun, di balik semua itu, penderitaan yang ditimbulkan oleh pendudukan Jepang di Indonesia sangat nyata. Jepang mengeksploitasi banyak sumber daya alam dan manusia Indonesia secara brutal.
Rakyat dipaksa bekerja tanpa upah dalam sistem kerja paksa yang dikenal sebagai romusha. Ribuan orang juga peranah dikirim ke berbagai lokasi proyek infrastruktur militer dengan kondisi memprihatinkan dan banyak di antara mereka yang tidak pernah kembali.
Kelaparan dan kemiskinan juga menjadi momok selama masa Nippon berkuasa. Jepang mengalihkan hasil pertanian dan logistik untuk kepentingan militernya.
Produksi beras menurun drastis, sementara kebijakan tanam paksa terhadap tanaman industri malah tak searah dengan kebutuhan bangsa pribumi. Walhasil, rakyat tidak lagi memiliki akses yang cukup terhadap bahan maskanan sehingga banyak daerah yang mengalami krisis pangan parah.
Selain itu, luka sejarah yang paling membekas di benak bangsa Indonesia terjadi ketika kaum perempuan diperlakukan semena-mena oleh Jepang. Mereka kerap menjadi korban praktik perbudakan seksual dan sarana pemuas nafsu di barak militer.
Pemerintahan Jepang di Indonesia juga terkenal otoriter. Segala bentuk kritik, perlawanan, dan kecurigaan bakal langsung ditindak. Penindakannya pun dilakukan dengan cara yang represif.
Pada saat itu, kebebasan berekspresi sama sekali hilang. Media-media massa hanya dijadikan budak dan berfungsi sebagai corong propaganda pemerintah Jepang. Walhasil, selama masa penjajahan ini rakyat harus hidup di bawah bayang-bayang ketakutan dan sama sekali tidak punya ruang untuk bersuara.
Maka dari itu, pendudukan Jepang di Indonesia menyisakan dua sisi yang kontras. Di satu sisi, pendudukan ini menumbuhkan fondasi-fondasi penting untuk meraih kemerdekaan, sementara di sisi lain, ada pendertiaan, luka, serta jejak kekerasan yang sulit dilupakan.
Walau begitu, warisan sulit di masa kelam itu menjadi catatan penting dalam sejarah, yakni sebagai pengingat kalau kemerdekaan Indonesia harus dibayar dengan harga yang mahal karena lahir dari proses yang panjang, penuh darah, dan air mata. (wrd)