WINA | Priangan.com – Kemajuan dunia medis saat ini sering kali diasosiasikan dengan teknologi mutakhir dan prosedur rumit. Rumah sakit dipenuhi peralatan canggih, dan ilmu kedokteran terus berkembang pesat. Namun, di balik segala kecanggihan itu, ada satu langkah sederhana yang pernah diremehkan dan bahkan ditolak, yaitu mencuci tangan. Sejarah mencatat bahwa perlindungan paling dasar ini sempat dianggap tidak penting, bahkan oleh para dokter yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga keselamatan pasien.
Di pertengahan abad ke-19, seorang dokter muda bernama Ignaz Semmelweis mengabdikan dirinya di sebuah rumah sakit di Wina, Austria. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan kedokterannya dan diberi tanggung jawab besar di klinik bersalin Rumah Sakit Umum Wina.
Dalam diam, angka kematian akibat demam nifas terus membayangi ruang-ruang bersalin, terutama di klinik yang dikelola oleh dokter dan mahasiswa kedokteran. Padahal, klinik lain yang dikelola oleh para bidan menunjukkan tingkat kematian jauh lebih rendah.
Semmelweis tidak tinggal diam. Ia mulai mencermati perbedaan-perbedaan kecil antara dua klinik tersebut. Dari posisi melahirkan hingga kebiasaan religius seperti prosesi pendeta setelah kematian pasien, semua dicoba untuk diubah demi melihat kemungkinan pengaruhnya. Namun, semua percobaan itu tak membuahkan hasil berarti.
Hingga suatu hari, kematian tragis seorang kolega bernama Jakob Kolletschka membuka jalan menuju penemuan penting. Kolletschka meninggal akibat infeksi setelah tak sengaja melukai dirinya sendiri saat melakukan otopsi. Gejala yang ditunjukkan tubuhnya sangat mirip dengan para ibu yang meninggal karena demam nifas. Semmelweis mulai menyusun satu benang merah. Menurutnya, partikel berbahaya dari jenazah terbawa tanpa disadari oleh tangan para dokter ke ruang bersalin, mereka menjadi perantara penyebaran penyakit mematikan itu.
Semmelweis kemudian memperkenalkan aturan kepada para dokter dan mahasiswa untuk wajib mencuci tangan mereka dengan larutan air klorin sebelum menyentuh pasien. Namun, aturan ini dianggap radikal saat itu. Mewajibkan menggunakan larutan klorin bukan karena ia tahu zat itu adalah disinfektan, melainkan karena ia mencium bau menyengat pada jaringan tubuh yang terinfeksi dan percaya bahwa bau tersebut adalah sumber penyakit.
Tanpa disengaja, Semmelweis juga menemukan cara efektif untuk mengurangi penyebaran infeksi.
Hasilnya sangat mencolok. Dalam waktu singkat, angka kematian di klinik turun drastis. Bahkan, ada periode dua bulan tanpa satu pun kematian.
Tetapi, keberhasilan ini tidak disambut dengan penghargaan. Sebaliknya, Semmelweis menghadapi gelombang penolakan dan penghinaan. Banyak dokter merasa tersinggung karena dianggap membawa kotoran dan kematian dengan tangan mereka sendiri. Teori Semmelweis juga berbenturan dengan keyakinan lama bahwa penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan tubuh, bukan oleh sesuatu yang tak terlihat seperti partikel mayat.
Frustrasi dengan sikap dunia medis, Semmelweis mulai menyuarakan kritiknya dengan gaya yang tajam dan emosional. Ia menulis surat terbuka berisi kecaman terhadap para dokter senior, menyebut mereka sebagai pembunuh yang lalai. Keberaniannya mengutarakan kebenaran malah membuatnya dijauhi dan akhirnya dipaksa meninggalkan Wina.
Di Budapest, ia melanjutkan perjuangannya di rumah sakit kecil dan kembali membuktikan keampuhan praktik cuci tangan. Ia diangkat menjadi profesor kebidanan dan menerapkan prosedur antiseptik di Universitas Pest, dengan hasil yang tetap mengesankan.
Pada tahun 1860, ia menerbitkan sebuah buku yang menjelaskan teori dan praktik yang telah menyelamatkan begitu banyak nyawa. Namun sayang, buku itu tak mendapat sambutan baik. Semakin hari, Semmelweis terjebak dalam depresi, kekecewaan, dan kemarahan yang tak tertahankan.
Akhir hidupnya tragis. Ia dirawat di rumah sakit jiwa dan meninggal hanya dua minggu kemudian akibat luka-luka yang dideritanya dari penganiayaan para penjaga. Ironisnya, ia meninggal karena infeksi sejenis demam nifas, penyakit yang sepanjang hidupnya ia coba basmi. Kematian Semmelweis nyaris tak mendapat perhatian. Tidak ada penghormatan, tidak ada pidato, bahkan tidak disebutkan dalam jurnal medis kala itu.
Butuh waktu dua puluh tahun sejak kepergiannya sebelum teori kuman diterima secara luas, setelah dikukuhkan oleh para ilmuwan seperti Louis Pasteur dan Robert Koch. Baru setelah itu, dunia mulai menyadari bahwa Ignaz Semmelweis telah jauh lebih dulu memahami kebenaran yang tak terlihat oleh mata. Kini, ia dikenang sebagai pelopor antiseptik modern, dijuluki ‘Bapak Kebersihan Tangan’ dan dihormati sebagai penyelamat jutaan ibu di seluruh dunia.
Kisah hidupnya menjadi pengingat pahit bahwa dalam sejarah ilmu pengetahuan, kebenaran tak selalu langsung diterima, bahkan ketika kebenaran itu menyelamatkan nyawa. (LSA)